Dari sekadar iseng untuk mencari kegiatan di sela-sela menunggui anak di sekolah, tiga muda ini kini menangguk sukses dari bisnis aplikasi dan bordir.

Ketiga ibu muda, Dinar Esfandiary (34), Rani Silmy (34) dan Ira Karmawan (35) memulai bisnis awal tahun 2004, saat bertemu di pengajian yang diadakan TK di mana anak-anak mereka bersekolah bersama.

Karena ingin persahabatan mereka bermanfaat dan menghasilkan uang, maka diputuskan untuk berbisnis kecil-kecilan. "Akhirnya, kami memilih berbisnis beddings. Dari seprai, bed cover, pokoknya segala pelengkap untuk kamar tidur anak."

Ketiganya pun mengusung nama Simply Idea (SI) untuk bisnis mereka dengan ciri khas aplikasi dan bordir berbahan utama kain katun.

PENJUAL KELILING
"Modal awal kami cuma Rp 5 juta yang langsung habis buat beli bahan," kata Dinar. Awalnya, mereka menjual produk ke teman-teman dan saudara. "Door to door, lho." Ternyata, usaha mereka tak sia-sia. Banyak teman atau kerabat yang suka dengan produk mereka.

Setelah itu, mereka pun patungan lagi menambah modal hingga Rp 50 juta. "Itu pun langsung habis untuk mengisi workshop, beli mesin obras, mesin jahit, merekrut pegawai, dan beli kain berbal-bal. Kami juga sudah mulai menerima pesanan."

JATUH BANGUN
Mereka pun mulai berpikir untuk memasukkan hasil produksinya ke Department Store. Jalan yang ditempuh tidak mudah. Awalnya mereka hanya diizinkan ikut berjualan ketika ada event big sale. "Kalau selama tiga kali big sale barang diminati pembeli, kami bisa masuk masa percobaan selama setahun. Selama masa percobaan, omset kami harus memenuhi target. Jika tidak, terpaksa kami ditendang," terang Dinar.

Setahun berlalu, ternyata target berhasil dilampaui. "Sekarang kami punya 2 outlet di 2 mal besar dengan 6 karyawan. Prosesnya jatuh bangun juga, enggak selamanya omset tinggi."

"Sekarang, SI juga merambah ke party goody bags, mendekor dan mengisi kamar anak serta menyiapkan kamar bayi, lengkap dengan boks bayi, baby towel, gorden, semuanya satu tema."

Selama tiga tahun, ketiganya mengaku memperoleh banyak pelajaran berharga di bidang bisnis. "Untuk bisa survive, harus ada tiga hal, yaitu kualitas, inovasi, dan servis," kata Dinar.

Kini, Dinar, Ira, dan Rani sudah bisa menikmati kesuksesan tanpa menelantarkan anak-anak.

Sumber :
Hasto Prianggoro
http://www.tabloidnova.com/article.php?name=/kisah-sukses-tiga-ibu&channel=profil
14 Maret 2008


Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ”karir”-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.

Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.
Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.
Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.
Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.

Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik.

Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ”orang mampu”. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar.
Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. ”Yang penting halal,” ujarnya mantap.

Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurtu dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI.
Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan. ”Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan,” ungkapnya.
Karena mengemis di Bangkalan kurang ”menjanjikan”, awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah.

Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ”bakat” Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat.
Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ”Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,” ungkapnya bangga.
Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas. Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. ”Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),” tegasnya.
Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ”Kami berpencar kalau mengemis,” jelasnya.
Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.

Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ”ilmu” dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya.
Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. ”Pokoknya sudah enak,” katanya.
Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ”Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,” kenangnya.
Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah.

Cerita tentang ”keberhasilan” Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ”Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,” ujarnya enteng.
Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ”Kali pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung,” tegasnya.
Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya Timur.
Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di ”pos khusus”, Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan.

Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri.
Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan…

Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.
Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan.
Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ”Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada saya,” ucapnya.

Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. ”Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,” katanya.
Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. ”Saya ingin naik haji,” ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti…


Kelahiran Ujung Pandang, 5 Agustus 1972, ini punya sejuta inovasi, termasuk acara "I Like Monday" di Hard Rock Cafe. Pendiri OMG Creative Consulting ini menyabet beragam penghargaan, di antaranya British Council's International Young Creative Entrepreneur, Asian Pacific Entrepreneur Award Winner (Most Promising Entrepreneurs), Young Marketers Award Winner dari IMA and Markplus, dan Future CEO to Watch dari majalah SWA. Wow!

Yoris Sebastian, Jadi GM Termuda Se-Asia

Sekarang sedang sibuk apa?
Sedang konsentrasi di Oh My Goodness (OMG) Consulting yang saya dirikan. Saya membantu klien yang mau melakukan bisnis secara berbeda atau istilahnya ala "Oh my Goodness". Saya percaya, bisnis yang dilakukan secara berbeda punya peluang sukses lebih besar ketimbang yang dilakukan secara biasa.

Bisa kasih contoh?
Yang terbaru adalah konsep Plaza FX di Jalan Sudirman. Kami konsultannya. Yang ingin kami tonjolkan adalah keunikan. Karena kalau FX mau bersaing dengan Plasa Senayan atau Senayan City, susah. FX kan size-nya kecil. Tapi selama dia punya keunikan, enggak masalah. Salah satunya kami bikin 12 ruang meeting. Kami juga sediakan 3 bus keliling sepanjang Sudirman dan SCBD selama jam kerja. Perjalanan bus bisa dicek lewat SMS. Jadi, lebih simple dan menolong kapasitas parkir FX yang kecil.

Kadang-kadang, dalam bisnis orang ingin semuanya. Padahal, sekarang eranya enggak bisa begitu. Harus punya ciri sendiri. Core segmen FX adalah orang-orang kantoran di daerah Sudirman. Nah, sekarang FX ramai banget. Itu membuktikan, selama kita punya konsep yang kuat dan unik, tapi tetap dengan perhitungan, harusnya kita juga bisa.

Jadi, lebih ke konsep bisnis ya?
Kurang lebih yang saya lakukan adalah membuat sesuatu yang tidak lazim. Jadi sekarang larinya sih lebih ke bussiness innovation concept. Orang sering nanya, "Kamu event organizer ya?" Saya bilang, saya bukan event organizer tapi event consultant. Saya lebih melakukan inovasi bisnis, tapi disesuaikan dengan karakter klien.

Kalau klien biasa pakai baju biru, jangan disuruh pakai baju oranye. Tetap pakai baju biru, tapi birunya diapain begitu. Jadi, OMG selalu bilang bahwa orang boleh berpikiran out of the box, tapi jangan out beneran. Eksekusinya tetep harus inside the box.

OMG seperti creative event planner. Contohnya Black Innovation Awards (BIA). Saya bilang, kalau bisa dikasih kesempatan lebih banyak kepada yang muda, saya yakin Indonesia bisa dapat lebih berkembang. Saya juga bisa berkembang karena ketika muda saya memperoleh banyak penghargaan. Nah, sekarang saya give it back lagi ke angkatan yang lebih muda, dengan membuat banyak awards.

Jadi konsultan apa lagi?
Selain jadi konsultan BIA, saya juga jadi konsultan untuk International Young Creative Entrepreneur Awards yang diadakan British Council, yang pernah saya menangi tahun 2006 di Inggris. Istilahnya saya naik pangkat terus. Tahun 2006 jadi peserta dan menang, tahun kedua jadi juri, tahun ketiga jadi event consultant.

Saya bantu di marketing dan sponsorship mereka. Supaya 2 tahun lagi kita bisa ngirim 8-10 orang. Saya sekarang mencari perusahaan yang punya visi yang sama supaya bisa membantu pendanaan. So far lumayan sih. Beberapa perusahaan mulai mendukung.

Apa lagi yang tengah Anda lakukan?
Banyak proyek yang "seksi dan seru" yang sedang kami garap. Dulu misalnya, saya bikin BC Bar. Itu bar pertama kali di Jakarta yang hanya buka Jumat dan Sabtu, tapi kok bisa menguntungkan. Orang kan bingung. Lho, kalau saya buka setiap hari enggak unik kan? Kalau buka Jumat dan Sabtu, orang malah penasaran. Malah saya ada ide bikin restoran yang enggak ada menunya. Tapi belum ada klien yang berani. He-he.

Omong-omong, kenapa sih namanya Oh My Goodness?
Saya sudah belasan tahun mencoba dan melakukan inovasi. Makanya ketika cari nama untuk perusahaan, saya enggak mau pakai nama sendiri. Saya ingin anak buah saya juga maju. Jadi saya bikin Oh My Goodness. Soalnya, semua yang saya bikin rata-rata aneh atau enggak biasa, tapi profitable dan penuh perhitungan.

Saya pernah kuliah akuntansi, makanya hitung-hitungan tetap benar. Tapi, tahu enggak kuliah saya enggak selesai lo. Waktu itu saya pikir-pikir, kuliah buat cari kerja. Ini kerjanya sudah dapat dan karier bagus. Dari pada keduanya setengah-setengah, saya pilih berhenti kuliah dulu. Tapi, saya bilang ke orangtua, saya akan kuliah di Universitas Terbuka. Kalau enggak, enggak bakal boleh. Tapi saya enggak menyesal karena ilmunya sudah dapat.

Terus, setelah drop out?
Niatnya memang sekolah lagi kan. Tapi, di usia 26 tahun saya jadi GM termuda di Asia dan termuda kedua di dunia (GM Hard Rock Café). Saya tanya lagi ke orangtua, "Masih perlu gelar enggak nih? Saya sudah GM nih. Kata mereka enggak usah he-he. Namanya orangtua, selalu baik. Makanya setiap kasih seminar saya selalu bilang, orangtua selalu baik, cuma sudut pandangnya beda. Jadi jangan dilawan, tapi lakukan pendekatan. Negonya begitu. Apalagi kalau masih tinggal bareng orangtua.

Bagaimana Anda melihat diri Anda sendiri?
Saya ini tidak pernah ingin berhenti berinovasi. Kalau dilihat, dari dulu sampai sekarang, setiap tahun selau ada 1-2 inovasi. Bahkan untuk kegiatan menjadi pengajar, yang saya sebut sebagai program isi bensin, saya buat yang aneh. Misalnya saya buat seminar di bioskop. Peserta ikut seminar sambil makan popcorn.

Akhirnya, saya malah mendobrak mitos bahwa guru itu duitnya enggak bagus. Dulu saya memang pernah ingin jadi guru. Sekarang, saya bisa membuat seminar yang sales-nya enggak kalah dengan menggelar event! Bedanya, event saya, ya, seminar. Dulu, di HRC saya jual makanan dan minuman sampai pagi, sekarang saya mengajar atau workshop sampai jam 5 sore, sales-nya terkejar.

Ide-ide biasanya dari mana?
Saya baca berbagai sumber, ternyata kreativitas itu adalah kebiasaan, bukan faktor turunan seperti IQ. Pakai jam misalnya, hari ini saya pakai di kiri, besok pakai di kanan. Rute ke kantor sering saya ubah-ubah. Saya pergi ke luar kota kadang pakai pesawat, kadang pakai mobil. Saya gunakan momen itu untuk melawan rutinitas. Orang-orang yang terjebak rutinitas biasanya tidak kreatif.

Sekarang lebih ekstrem lagi, di OMG saya jarang ke kantor, saya lebih suka mobile. Di kantor, saya dipanggil Invisible Boss, alias bos yang enggak kelihatan. Saya bilang, kalau saya di kantor saya akan terjebak rutinitas. Saya ke kantor hanya kalau ada rapat. Malah waktu kantor masih lebih kecil, kursi saya berikan ke orang lain saking enggak pernah kepakai.

Mungkin juga karena sejak kecil saya suka main game, walaupun tetap ada porsinya. Game membuat saya berani mengambil risiko. Jadi, benar atau enggak, dari hal-hal kecil seperti itulah kreativitas saya muncul. Waktu sekolah di Pangudi Luhur, saya sudah ikut bikin PL Fair, misalnya.

Saya selalu bilang, start small, mulailah dari hal kecil. Jangan langsung gede. Itu yang saya pelajari dari pengalaman sendiri. Dari satu, bikin I Like Monday, akhirnya mendapatkan award achievement. Dari situ muncul tantangan, masak cuma I Like Monday? Akhirnya muncul yang baru. Setelah itu saya bikin program TV, Destination Nowhere. Pergi tanpa tahu tujuan. Jadi, level kreativitas saya makin diuji terus.

Apakah sudah merasa menemukan dunia Anda?
Kalau dibilang nemu, enggak pernah tahu, ya. Dulu saya suka fotografi, saya pikir saya bakal jadi fotografer. Masuk Hard Rock, saya pikir bakal masuk dunia entertainment (Yoris juga pernah membuat IP Entertainment), sempat dapat Marketer's Award, saya pikir dunia saya di marketing.

Sebetulnya, dalam proses pencarian passion itu, yang penting kita melakukan apa yang kita suka. Juga, tetap harus bernilai ekonomis. Saya menyebutnya Happynomics. Kita mau sesuatu tapi harus ada ukuran ekonominya. Happy, tapi harus ada nilai ekonominya.

Apa yang Anda lakukan ke karyawan Anda?
Di kantor, karyawan saya harus senang knowledge, harus senang baca. Nah, tiap minggu kita membuat sharing session, membahas buku yang habis dibaca bergantian. Sekretaris juga ikut. Dengan banyak knowledge, akan banyak inspirasi, jadinya banyak inovasi. Visi kita adalah, senang knowledge, inovation, achievement. Kalau itu jalan, nantinya enggak harus bergantung ke saya, bisa jalan senidiri.

Dari sekian inovasi, mana yang paling menantang?
I Like Monday. Karena posisi saya waktu itu enggak tinggi-tinggi banget. Yang kedua, saya melawan banyak orang. Di HR itu kan terkenal karena penampilan band asing . Sementara saya percaya, musik lokal akan mendominasi musik industri, dan sekarang itu sudah terjadi, Untungnya argumentasi saya diterima. Pelajaran moralnya, jangan takut dengan umur. Yang penting kita punya reasonable reason. Dari situ saya dapat award banyak banget.

Ada target yang belum kesampaian?
Menikah. Walaupun target saya menikah usia 25 tahun biar usia dengan anak enggak jauh. Tapi itu tidak saya anggap sebagai kegagalan. In life we cannot win everything. Mungkin 1-2 tahun ke depan lah. Sekarang sedang konsentrasi bikin usaha sendiri. Mengalir saja.

Oh ya, saya juga sedang memunculkan minipreneur. Saya ajak ibu rumah tangga muda untuk bekerja dari rumah untuk beberapa proyek saya. Ini sekaligus mendukung program ibu menyusui. Ternyata banyak lho, yang berminat. Menjaringnya gampang, lewat Facebook. Jadi, mereka tetap dapat pemasukan tanpa harus kerja kantoran.

Kegiatan lain?
Saya paling senang travelling. Apalagi sekarang enak, punya usaha sendiri. Pacar juga punya usaha sendiri. Buat saya, travelling adalah part of seeing other cultures. Liburan buat saya bukan cari ide, tapi cari inspirasi. Apa yang kita bikin, sangat localized. Think globally, act locally. Jalan-jalan juga salah satu cara untuk nge-charge otak. Kebetulan pacar juga suka travelling.


Semakin tua, semakin sibuk, tak membuat Ciputra (78) kelelahan. Dari hari ke hari waktunya lebih banyak untuk memaparkan gagasan, menebarkan virus entrepreneurship. Semangat kewirausahaan.

Ciputra, Tak Lelah Beramal

Tampil dalam berbagai seminar dari pergutuan tinggi satu ke perguruan tinggi lain, dialog jarak jauh, dan bahkan narasumber di Universitas Ciputra Entrepreneurs Center (UCEC), Ciputra tak hendak cari uang.

"Ini masanya untuk beramal, menularkan gagasan. Tak ada kata lelah untuk beramal, berbuat untuk kepentingan bangsa. Bagaimana mengubah masa depan bangsa dan masa depan anak bangsa, menjadi semakin lebih baik," ujarnya, Jumat (13/11) pekan lalu, di sela -sela menunggu Menko Kesra Agung Laksono.

Beramal dengan gagasan, dengan waktu, dan dengan uang, diyakini Ciputra membuat dia mendapatkan lebih banyak dari apa yang dia berikan. Setidak-tidaknya karunia kesehatan dan kesempatan menularkan pengalaman dan gagasan.

"Sudah sejak tiga tahun lalu, saya selain mendidik calon-calon entrepreneurs dan menyiapkan para pendidik/pelatih entrepreneurs, juga minta waktu sejumlah menteri agar turut mendorong dan memasukkan gerakan entrepreneur dalam program-programnya," ungkap Ciputra.

Sore itu, Raja Properti Indonesia itu selain memaparkan latar belakang gagasannya, juga menghadiahi Agung Laksono buku Ciputra Quantum Lead, Entrepreneurship Mengubah Masa Depan Bangsa dan Masa Depan Anda .

Menurut Ciputra, pentingnya entrepreneurship tak sebatas mengatasi pengangguran dan kemiskinan, tapi juga mengatasi ketidakadilan. Karena itu, Ciputra menganggap harus ada gerakan nasional bersama.

Dari 2.850 perguruan tinggi, sudah terbentuk 315 Entrepreneurs Centre. Dan menandai 100 hari program kerja kabinet, digelar seminar nasional dan sekaligus peresmian Entrepreneur Centre.

Ciputra menyarankan adanya Hari Entrepreneurs, Agung Laksono pun mendukung. Dia berkomitmen akan mencarikan tanggal dan bulannya kapan.


Saya lahir pada tahun 1933, di Padang, Sumatera Barat. Alhamdulillah sejak kecil orang tua mendidik saya dengan ajaran Islam yang ketat. Ayah saya berlatar pedagang. Sejak saya kecil, ia juga mendidik saya untuk berdagang. Sekaligus mengajarkan akhlaq berdagang.

Suatu saat tanpa disadari, ayah saya kurang mengembalikan uang pembeli. Tetapi pembeli itu diam saja dan berlalu. Lekas dipanggilnya orang itu. Sewaktu saya bertanya mengapa dikembalikan sisa uangnya sedangkan orang itu tidak tahu. Ayah menjawab, Allah Maha Tahu. Sikap demikian akhirnya tertanam dalam hati nurani saya.

Sewaktu baru berumur 11 tahun, saya sudah diberinya sejumlah uang. “Kamu mau dagang apa, terserah,” ujarnya lembut. Setiap pulang “berdagang”, saya melaporkan pendapatan saya. “Berapa kamu dapat ? Bagus,” pujinya. Waktu itu saya berinisiatif menjual kelapa. Dengan menggunakan gerobak, saya membeli kelapa di rumah penduduk, dan menjualnya ke pasar dengan jarak tempuh sampai 10 km.

Tapi ayah tetap mengutamakan pendidikan formal. “Jangan tinggalkan sekolah.”itu selalu ia tekankan. Lulus SMA saya meneruskan studi ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Setelah lulus, saya bekerja sebagai Direktur BPD. Saya sudah bertekad, suatu saat harus mandiri. Setelah tujuh tahun bekerja di BPD, saya menolak diperpanjang masa jabatan. Saya merasa inilah titik awal permulaan usaha saya. Saya mesti berdiri di atas kaki sendiri.

Maka sejak 1967, saya mulai menekuni berbagai bidang usaha. Hingga sepuluh tahun kemudian, sewaktu mencoba bisnis properti kecil-kecilan, saya sadar, usaha itu sudah tidak bisa lagi saya kembangkan.

Lalu pada tahun 1978, saya memutuskan keliling Eropa, melakukan “studi banding”, apa sih yang sebaiknya saya kembangkan. Akhirnya saya menemukan, yang pokok diperlukan manusia itu sandang dan pangan. Ternyata siapa yang bergerak di bidang itu, asalkan mempraktekkan teori-teori yang benar, dapat berkembang.

Pada tahun 1979, mulailah saya membuka TIP TOP di Rawamangun. Waktu itu hanya toko kecil, semacam mini market. Saya memulai dari bawah, dari nol. Luas lantainya hanya 400 M2. Saya juga pergi ke pasar-pasar tradisional membeli bawang, cabai langsung sama mbok-mbok penjualnya. Ini berlangsung sekitar dua tahun. Bagi saya ini banyak hikmahnya, saya jadi tahu perputaran arus barang mulai dari bawah.

Sejak awal saya sudah mematok mini market itu harus berdasarkan prinsip-prinsip Islami. Bukan hanya tidak menjual daging babi dan minuman keras, tetapi saya juga selektif memilih barang. Misalnya daging sapi atau ayam, kalau harganya terlalu murah, atau tidak jelas memotongnya Islami atau tidak, saya tolak. Bagi saya justru nmencurigakan kalau harganya terlalu murah, dari mana dapat daging itu? Jadi barang-barang yang tidak jelas asal usulnya tak mau saya terima. Saya juga perlu melihat langsung tempat pemotongan hewannya.Saya berusaha memprotect, agar hanya barang yang halal dan thoyyib saja yang dijual.

Saya juga mencoba mengikuti bagaimana nabi berdagang, tentunya sepanjang yang saya ketahui. Nabi Muhammad berdagang sesuai dengan hati nuraninya, tidak mau menipu, mencelakakan atau menganiaya orang. Ini saya coba terapkan. Bagi saya kalau sudah cukup untung 2 sampai 3 % jangan mengambil 5 atau 10 %. Setahu saya prinsip dalam Islam itu, carilah pendapatan secukupnya untuk dirimu. Jadi walaupun barangnya halal, tapi kalau harganya mahal, bagi saya tidak baik, dan tidak Islami juga jadinya.

Ternyata dasar Islami ini mendapat respon positif dari masyarakat. Tip Top mendapat sambutan di luar dugaan saya. Perkembangannya demikian cepat, bagaikan air bah saja. Lahan seluas 400 M2 itu tidak mencukupi. Tiap tahun saya harus memperluas , dengan membongkar bagian rumah saya di samping mini market. Tahun 1985, Tip Top sudah berubah jadi Pasar Swalayan, dengan luas 3000 M2 dan kenaikan penjualan 20 hingga 30 kali lipat.

Berdasarkan pemantauan kami, pelanggannya tidak hanya yang tinggal di Rawamangun saja, tapi meluas hampir di seluruh Jakarta Timur. Saya merasa ini tak lain karena ridlo Allah. Dengan kesadaran ini, saya semakin takut untuk keluar dari jalur Islami. Tawaran dari supplier barang yang tidak Islami, misalnya minuman keras, bukannya tidak ada. Bahkan fasilitasnya mudah dan keuntungannya besar. Saya tetap menolak semuanya.

Hingga pada Juni 1991, Allah menguji saya. Kebakaran besar tiba-tiba menimpa Tip Top.Semuanya habis terbakar. Inventaris, stok-stok barang, gedung, ludes terbakar semuanya. Tak ada lagi yang tersisa. Hingga menjelang shubuh, api yang mengamuk sejak jam satu malam masih berkobar. Pemadam kebakaran boleh dibilang minim bantuannya, karena sedang terjadi kebakaran juga di Jatinegara.

Sewaktu melihat api yang menjilat-jilat itu, saya sempat berfikir, apakah ini hukuman atau cobaan dari Allah. Bagi saya, kalaupun ini hukuman, saya tetap bersyukur. Berarti Allah masih berkenan memperingatkan saya dan masih memberi kesempatan saya memperbaiki diri. Sewaktu api masih mengganas, saya pulang untuk sholat shubuh. Setelah sholat, rasanya muncul cahaya, bahwa ternyata itu bukan hukuman. Tapi cobaan dari Allah. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa pada waktu itu saya dicoba.

Pagi hari para karyawan berdatangan. Tak pelak lagi mereka terkejut, sedih, bahkan menangis. Saya hadapi mereka, saya sampaikan apa yang saya yakini. Bahwa kita sedang dicoba oleh Allah, apakah mampu atau tidak kita melewatinya. Kalau mampu, kita akan “naik kelas”. Kalau tidak, malah akan ditutup segala pintu rizki oleh Allah. Sayapun sudah bertekad, harus bangkit kembali.

Setelah musibah itu, tanpa saya duga sama sekali, pihak Pemda meminta Tip Top harus berdiri kembali. Jam sepuluh pagi sesudah kebakaran itu, mereka bilang,”Kalau perlu buka saja disini(areal Pemda-red). Kalau pun mau membangun kembali di tempat lama, apa kesulitannya, kami yang akan urus.” Saya sangat terharu. Rasaya mereka kok lebih berkepentingan daripada kami.

Wakil Gubernur saat itu menanyakan, berapa karyawan yang teraniaya akibat kebakaran itu. Saat itu ada sekitar 200 karyawan yang menggantungkan hidupnya pada Tip Top. Ternyata ia menyampaikan, mereka akan disantuni Pemerintah DKI. “Kalau soal ijin dan lainnya, saudara tidak usah khawatirkan. Pemerintah DKI akan berada di belakang saudara.” ujarnya pada saya. Itu suatu support luar biasa yang sama sekali tidak saya duga sebelumnya. Tambah kuat keyakinan saya bahwa ini cobaan dari Allah. Masalah-masalah setelah kebakaran rasanya dimudahkan saja oleh-Nya.

Hal lain yang juga di luar dugaan saya, adalah mudahnya saya memperoleh pinjaman dalam jumlah sangat besar, buat membangun kembali Tip Top. Pertolongan-pertolongan yang tidak disangka sama sekali, ternyata saya dapatkan dengan mudah. Saya pikir itulah kehendak Allah. Sebagai manusia, saya dengan sendirinya sangat terharu dengan karunia Allah ini.

Sekitar dua minggu kemudian, Tip Top dibangun kembali. Di areal lama. Bulan September, separoh dari supermarket sudah dapat dibuka kembali. Saat itu hutang saya kepada supplier mencapai dua milyar lebih. Tapi, Alhamdulillaah, mereka tetap percaya kepada kami. Walaupun hutang itu belum bisa dibayar, mereka tetap mensupli kami dengan barang-barang baru.

Pada Februari 1992, keadaan kembali seperti semula,. Setelah enam bulan sebelumnya kami bekerja siang dan malam. Dengan sendirinya kami mengalami berbagai pembaharuan. Bergerak dengan semangat, kemampuan, situasi serta keadaan yang baru. Ternyata para pelanggan juga tidak meninggalkan kami. Akhirnya, masih pada tahun 1992 itu, semua hutang saya pada supplier sudah bisa terbayar. Suatu hal yamg tak saya sangka. Saat itu kembali saya disadarkan, kalau Allah berkenan memberi rizki, dengan mudah saja Ia berikan.

Pada tahun 1992, seseorang tiba-tiba menawarkan sebidang tanah seluas dua hektar di Bogor. Awalnya, saya sempat pikir-pikir, apa gunanya. Tapi kembali saya merenung, barangkali Allah mau menguji saya, mampukah saya mengambil manfaat dari tawaran tanah itu. Akhirnya tanah itu saya beli. Pada tahun 1993 saya dirikan Panti Yatim Piatu.

Pada tahun itu pula saya dapat membuka cabang. Padahal, terus terang, saya juga tidak tahu dari mana uangnya. Saya juga heran, kok bisa. Padahal baru dua tahun saya terkena musibah. Agaknya itu yang Allah janjikan, kalau engkau dekat dengan-Ku, Aku lebih dekat. Ternyata cabang Tip Top itu pesat perkembangannya. Pada tahun 1999 kami membuka cabang di kawasan Tangerang. Insya Allah pada tahun 2001 kami akan membuka satu atau dua cabang lagi. Di setiap cabang itu, kami tetap menegakkan prinsip awal, yaitu supermarket berjiwa Islami.

Terhadap suppiler dan pembeli, sikap jujur tetap saya utamakan. Itu merupakan modal pokok usaha. Supplier mensuply barang puluhan milyar. Bagaimana mungkin mereka percaya, kalau saya tidak jujur. Pernah pula datang seorang pembeli yang mengeluhkan harga barang kami. Menurutnya, ternyata di tempat lain, ada barang serupa dengan harga lebih murah. Boleh jadi kami tertipu, “tertidur” atau pedagang lain berusaha men-cut prinsip kami. Setelah kami cek dan benar harga di sana lebih murah, kami kembalikan selisih harganya kepada pembeli itu.

Kini, kami mulai mempunyai anak-anak angkat, mereka ingin bergerak di bidang usaha ini tapi tidak tahu caranya. Mereka kami bimbing, tanpa memperhatikan unsur komersialnya. Kalau sudah berkembang, kami lepas. Sekarang sudah ada beberapa yang sudah bisa dilepas. Bahkan sudah membuka cabang-cabang mini marketnya.

Kami berusaha tetap eksis di Indoensia ini. Tentunya nanti akan lebih banyak lagi ”serbuan” pesaing yang masuk, setelah AFTA 2003. Tapi, insya Allah kami bisa menghadapi itu. Dan saya yakin seyakin-yakinnya, Allah akan melindungi usaha-usaha yang diridloi-Nya.

Ke depannya, cita-cita saya, saya sangat ingin membuka supermarket di dekat Masjidil Haram atau Masjid Nabawi.

Sekali lagi, saya sangat bersyukur, orang tua menganut Islam yang baik dan mengupayakan saya demikian juga. Yang saya sayangkan mereka keburu berpulang, dan belum sempat menikmati hasil kerja keras dan rizki Allah pada saya. Saya belum sempat menyenangkan mereka. Tapi Allah sudah memutuskan. Saya hanya bisa berdoa, mudah-mudahkan mereka mendapat tempat layak di sisi-Nya.

Kini, saya mempunyai generasi penerus, putra-putri saya. Insya Allah usaha ini akan jatuh ke tangan yang benar. Jangan sampai goyah membawa prinsip Islam dalam perjalanan selanjutnya. Saya optimis, Insya Allah, usaha-usaha apapun, termasuk swalayan yang berada dalam koridor Islam, akan dapat berkembang terus.

Seperti dikisahkan Bapak Rusman Maamoer,

pendiri Swalayan Tip Top, kepada Tarbawi.

Sumber : http://safeourlife.info/node/84


Apa jadinya jika seorang calon dokter gigi justru merambah bisnis televisi? Jika ingin tahu jawabannya, lihatlah sosok Chairul Tanjung, pebisnis asli pribumi yang kini namanya berkibar dengan Grup TransTV dan Trans7. Berkat kesulitan ekonomi yang menderanya, ternyata hal tersebut justru menjadi bekal mengasah ketajaman insting bisnisnya.

Saat kuliah di Fakultas Kedokteran gigi Universitas Indonesia, pada periode tahun 1980-an, ia memang harus memenuhi kebutuhan kuliahnya sendiri. Meski terlahir dari keluarga yang cukup berada, karena perubahan keadaan politik, keluarganya terpaksa menjalani kehidupan seadanya. Dari rumah yang tergolong besar, mereka harus menjualnya, dan menyewa sebuah losmen sempit.

Kisah Sukses Chairul TanjungNamun, ternyata, kesulitan ini justru membuat Chairul membulatkan tekadnya untuk kembali berjuang meraih kesuksesan," Saya bercita-cita jadi orang besar." Maka, lepas dari SMA Boedi Utomo Jakarta, ia pun masuk ke Fakultas Kedokteran Gigi UI. Kesulitan biaya kuliah membuatnya harus kreatif mencari dana untuk meneruskan sekolahnya. Maka, kelahiran Jakarta, 18 Juni 1962 ini pun lantas memulai bisnis kecil-kecilan. Mulai dari berjualan buku kuliah stensilan, kaos, sepatu, dan aneka barang lain di kampus dan kepada teman-temannya. Dari modal usaha itu, ia berhasil membuka sebuah toko peralatan kedokteran dan laboratorium di daerah Senen Raya, Jakarta. Sayang, karena sifat sosialnya - yang sering memberi fasilitas kepada rekan kuliah, serta sering menraktir teman - usaha itu bangkrut.

Namun, rupanya, menjadi pebisnis telah memikat hatinya. Walau bangkrut, ia justru langsung mencoba usaha lain, kali ini di bidang kontraktor. Meski juga kurang berhasil, ia merasa mendapat pelajaran banyak hal dari bisnis-bisnis yang pernah ditanganinya. Dari bekal pengetahuan itu, ia memberanikan mendirikan CV pertamanya pada tahun 1984 dan menjadikannya PT pada tahun 1987. Dari PT bernama Pariarti Shindutama itu, ia berkongsi dengan dua rekannya mendirikan pabrik sepatu. Kepiawaiannya menjaring hubungan bisnis langsung membuat sepatu produksinya mendapat pesanan sebanyak 160 ribu pasang dari pengusaha Italia. Dari kesuksesan ini, bisnisnya merambah ke industri genting, sandal, dan properti. Namun, di tengah kesuksesan itu, rupanya ia mengalami perbedaan visi dengan kedua rekannya. Maka, ia pun memilih menjalankan sendiri usahanya.

Ternyata, ia justru bisa makin berkembang dengan berbagai usahanya. Ia pun lantas memfokuskan usahanya ke tiga bisnis inti, yakni: keuangan, properti, dan multimedia. Melalui tangan dinginnya, ia mengakuisisi sebuah bank kecil yang nyaris bangkrut, Bank Tugu. Keputusan yang dianggap kontoversial saat itu oleh orang dekatnya. Namun, pengalaman bangkit dari kegagalan rupanya mengajarkannya banyak hal. Ia justru berhasil mengangkat bank itu, - setelah mengubah namanya menjadi Bank Mega - menjadi bank papan atas dengan omset di atas Rp1 triliun saat ini.

Selain itu, suami dari dokter gigi Ratna Anitasari ini juga merambah bisnis sekuritas, asuransi jiwa dan asuransi kerugian. Kemudian, di bisnis properti, ia juga telah membuat sebuah proyek prestisius di Kota Bandung, yang dikenal dengan Bandung Supermall. Dan, salah satu usaha yang paling melambungkan namanya yaitu bisnis televisi, TransTV. Pada bisnis pertelevisian ini, ia juga dikenal berhasil mengakuisisi televisi yang nyaris bangkrut TV7, dan kini berhasil mengubahnya jadi Trans7 yang juga cukup sukses.

Tak heran, dengan semua prestasinya, ia layak disebut sebagai "The Rising Star". Bahkan, baru-baru ini, ia dinobatkan sebagai orang terkaya Indonesia, di posisi ke-18, dengan total kekayaan mencapai 450 juta dolar AS. Sebuah prestasi yang mungkin tak pernah dibayangkannya saat memulai usaha kecil-kecilan, demi mendapat biaya kuliah, ketika masih kuliah di UI dulu.

Hal itulah yang barangkali membuat Chairul Tanjung selalu tampil apa adanya, tanpa kesan ingin memamerkan kesuksesannya. Selain itu, rupanya ia pun tak lupa pada masa lalunya. Karenanya, ia pun kini getol menjalankan berbagai kegiatan sosial. Mulai dari PMI, Komite Kemanusiaan Indonesia, anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia dan sebagainya. "Kini waktu saya lebih dari 50% saya curahkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan," ungkapnya.

Pencapaian Chairul Tanjung sebagai tokoh bisnis yang gemilang, dengan berbagai jenis usahanya, telah membuat ia dinobatkan sebagai "The Rising Star". Ia mampu membuktikan, bahwa kebangkrutan dan kegagalan, justru bisa menjadi bahan pembelajaran guna meraih sukses yang luar biasa di kemudian hari. Dan, yang terpenting, di tengah kesuksesannya, ia kini tak lupa berbagi, dengan menjadi pegiat berbagai urusan sosial kemasyarakatan. Sebuah catatan kehidupan seorang Chairung Tanjung yang bisa diteladani kita semua.


Fauzi Saleh, contoh seorang pengusaha sukses sekaligus dermawan. Ini berkat kompak dengan karyawannya. Derai tawa dan langgam bicaranya khas betawi. Itulah gaya H. Fauzi Saleh dalam meladeni tamunya.

Pengusaha perumahan mewah Pesona Depok dan Pesona Khayangan yang hanya lulusan SMP tersebut memang lahir dan dibesarkan di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Setamat dari SMP pada tahun 1966, beliau telah merasakan kerasnya kehidupan di ibukota.

Saat itu Fauzi terpaksa bekerja sebagai pencuci mobil di sebuah bengkel dengan gaji Rp 700 per minggu. Bahkan delapan tahun silam, dia masih dikenal sebagai penjaga gudang di sebuah perusahaan. Tapi, kehidupan ibarat roda yang berputar.
>
Sekarang posisi ayah 6 anak yang berusia 45 tahun ini sedang berada diatas. Pada hari ulang tahunnya itu, pria bertubuh kecil ini memberikan 50 unit mobil kepada 50 dari sekitar 100 karyawan tetapnya. Selain itu para karyawan tetap dan sekitar 2.000 buruh mendapat bonus sebulan gaji. Total Dalam setahun, karyawan dan buruhnya mendapat 22 kali gaji sebagai tambahan, 3 bulan gaji saat Idul Fitri, 2 bulan gaji saat bulan Ramadhan dan Hari Raya Haji, dan 1 bulan gaji saat 17 Agustus, tahun baru dan hari ulang tahun Fauzi. Selain itu, setiap karyawan dan buruh mendapat Rp 5.000 saat selesai shalat Jumat dari masjid miliknya di kompleks perumahan Pesona Depok.

Sikap dermawan ini tampaknya tak lepas dari pandangan Fauzi, yang menilai orang-orang yang bekerja padanya sebagai kekasih. “Karena mereka bekerjalah saya mendapat rezeki.”, katanya. Manajemen kasih sayang yang diterapkan Fauzi ternyata ampuh untuk
memajukan perusahaan. Seluruh karyawan bekerja bahu-membahu. “Mereka seperti bekerja di perusahaan sendiri.” Katanya.

Prinsip manajemen “Bismillah” itu telah dilakukan ketika mulai berusaha pada tahun 1989 silam, yaitu setelah dia berhenti bekerja sebagai petugas keamanan. Berbekal uang simpanan dari hasil ngobyek sebagai tukang taman,sebesar 30 juta, beliau kemudian membeli tanah 6 x 15 meter sekaligus membangun rumah di jalan jatipadang, jakarta selatan.

Untuk menyiapkan rumah itu secara utuh diperlukan tambahan dana sebesar 10 juta. Meski demikian, Fauzi tidak berputus asa. Setiap malam jumat, Fauzi dan pekerjanya sebanyak 12 orang, selalu melakukan wirid Yasiin, zikir dan memanjatkan doa agar usaha yang sedang mereka rintis bisa berhasil. Mungkin karena usaha itu dimulai dengan sikap pasrah, rumah itupun siap juga. Nasib baik memihak Fauzi. Rumah yang beliau bangun itu laku Rp 51 juta. Uang hasil penjualan itu selanjutnya digunakan untuk membeli tanah,
membangun rumah, dan menjual kembali. Begitu seterusnya, hingga pada 1992 usaha Fauzi membesar. Tahun itu, lewat PT. Pedoman Tata Bangun yang beliau dirikan, Fauzi mulai membangun 470 unit rumah mewah Pesona Depok 1 dan dilanjutkan dengan 360 unit rumah pesona Depok 2. Selanjutnya dibangun pula Pesona Khayangan yang juga di Depok. Kini telah dibangun Pesona Khayangan 1 sebanyak 500 unit rumah dan pesona khayangan 2 sebanyak 1100 unit rumah. Sedangkan pesona khayangan 3 dan 4 masih dalam tahap pematangan tanah.

Harga rumah group pesona milik Fauzi tersebut antara 200 juta hingga 600 juta per unit. Yang menarik tradisi pengajian setiap malam jumat yang dilakukannya sejak awal, tidak ditinggalkan. Sekali dalam sebulan, dia menggelar pengajian akbar yang disebut dengan pesona dzikir yang dihadiri seluruh buruh, keluarga dan kerabat di komplek pesona khayangan pertengahan september lalu, ada sekitar 4.000 orang yang hadir. Setiap orang yang hadir mendapatkan sarung dan 3 stel gamis untuk shalat. Setelah itu, ketika
beranjak pulang, setiap orang tanpa kecuali, diberi nasi kotak dan uang Rp 10.000. tidak mengherankan, suasana berlangsung sangat akrab. Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Tidak ada perbedaan antara bawahan dan atasan. Menurut Fauzi, beliau sendiri tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini.

“Ini semua dari Alloh. Saya tidak ada apa2nya.” Kata pria yang sehari-hari berpenampilan sederhana ini. Karena menyadari bahwa semua harta itu pemberian Alloh, Fauzi tidak lupa mengembalikannya dalam bentuk infak dan shadaqoh kepada yang membutuhkan. Tercatat, beberapa masjid telah dia bangun dan sejumlah kaum dhuafa dan janda telah disantuninya. Usaha yang dijalankannya tersebut, menurut Fauzi ibarat menanam padi. “Dengan bertanam padi, rumput dan ilalang akan tumbuh. Ini berbeda kalau kita bertanam rumput, padi tidak akan tumbuh”. Kata Fauzi.

Artinya, Fauzi tidak menginginkan hasil usaha untuk dirinya sendiri. “Saya hanya mengambil, sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan sosial.” Katanya.

Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk kegiatan sosial, sedangkan selebihnya dipakai sebagai modal usaha. Sejak empat tahun lalu, ada Rp 70 milyar yang digunakan untuk kegiatan sosial.

“Jadi, keuntungan perusahaan ini adalah nol.” Kata Fauzi. ” Jika setiap bangun pagi , kita bisa mensyukuri dengan tulus apa yang
telah kita miliki hari ini, niscaya sepanjang hari kita bisa menikmati hidup ini dengan bahagia”