Dari sekadar iseng untuk mencari kegiatan di sela-sela menunggui anak di sekolah, tiga muda ini kini menangguk sukses dari bisnis aplikasi dan bordir.

Ketiga ibu muda, Dinar Esfandiary (34), Rani Silmy (34) dan Ira Karmawan (35) memulai bisnis awal tahun 2004, saat bertemu di pengajian yang diadakan TK di mana anak-anak mereka bersekolah bersama.

Karena ingin persahabatan mereka bermanfaat dan menghasilkan uang, maka diputuskan untuk berbisnis kecil-kecilan. "Akhirnya, kami memilih berbisnis beddings. Dari seprai, bed cover, pokoknya segala pelengkap untuk kamar tidur anak."

Ketiganya pun mengusung nama Simply Idea (SI) untuk bisnis mereka dengan ciri khas aplikasi dan bordir berbahan utama kain katun.

PENJUAL KELILING
"Modal awal kami cuma Rp 5 juta yang langsung habis buat beli bahan," kata Dinar. Awalnya, mereka menjual produk ke teman-teman dan saudara. "Door to door, lho." Ternyata, usaha mereka tak sia-sia. Banyak teman atau kerabat yang suka dengan produk mereka.

Setelah itu, mereka pun patungan lagi menambah modal hingga Rp 50 juta. "Itu pun langsung habis untuk mengisi workshop, beli mesin obras, mesin jahit, merekrut pegawai, dan beli kain berbal-bal. Kami juga sudah mulai menerima pesanan."

JATUH BANGUN
Mereka pun mulai berpikir untuk memasukkan hasil produksinya ke Department Store. Jalan yang ditempuh tidak mudah. Awalnya mereka hanya diizinkan ikut berjualan ketika ada event big sale. "Kalau selama tiga kali big sale barang diminati pembeli, kami bisa masuk masa percobaan selama setahun. Selama masa percobaan, omset kami harus memenuhi target. Jika tidak, terpaksa kami ditendang," terang Dinar.

Setahun berlalu, ternyata target berhasil dilampaui. "Sekarang kami punya 2 outlet di 2 mal besar dengan 6 karyawan. Prosesnya jatuh bangun juga, enggak selamanya omset tinggi."

"Sekarang, SI juga merambah ke party goody bags, mendekor dan mengisi kamar anak serta menyiapkan kamar bayi, lengkap dengan boks bayi, baby towel, gorden, semuanya satu tema."

Selama tiga tahun, ketiganya mengaku memperoleh banyak pelajaran berharga di bidang bisnis. "Untuk bisa survive, harus ada tiga hal, yaitu kualitas, inovasi, dan servis," kata Dinar.

Kini, Dinar, Ira, dan Rani sudah bisa menikmati kesuksesan tanpa menelantarkan anak-anak.

Sumber :
Hasto Prianggoro
http://www.tabloidnova.com/article.php?name=/kisah-sukses-tiga-ibu&channel=profil
14 Maret 2008


Cak To tak mau nama aslinya dipublikasikan. Dia juga tak mau wajahnya terlihat ketika difoto untuk harian ini. Tapi, Cak To mau bercerita cukup banyak tentang hidup dan ”karir”-nya. Dari anak pasangan pengemis yang ikut mengemis, hingga sekarang menjadi bos bagi sekitar 54 pengemis di Surabaya.

Setelah puluhan tahun mengemis, Cak To sekarang memang bisa lebih menikmati hidup. Sejak 2000, dia tak perlu lagi meminta-minta di jalanan atau perumahan. Cukup mengelola 54 anak buahnya, uang mengalir teratur ke kantong.
Sekarang, setiap hari, dia mengaku mendapatkan pemasukan bersih Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti, dalam sebulan, dia punya pendapatan Rp 6 juta hingga Rp 9 juta.
Cak To sekarang juga sudah punya rumah di kawasan Surabaya Barat, yang didirikan di atas tanah seluas 400 meter persegi. Di kampung halamannya di Madura, Cak To sudah membangun dua rumah lagi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk emak dan bapaknya yang sudah renta. Selain itu, ada satu lagi rumah yang dia bangun di Kota Semarang.
Untuk ke mana-mana, Cak To memiliki dua sepeda motor Honda Supra Fit dan sebuah mobil Honda CR-V kinclong keluaran 2004.

Tidak mudah menemui seorang bos pengemis. Ketika menemui wartawan harian ini di tempat yang sudah dijanjikan, Cak To datang menggunakan mobil Honda CR-V-nya yang berwarna biru metalik.

Meski punya mobil yang kinclong, penampilan Cak To memang tidak terlihat seperti ”orang mampu”. Badannya kurus, kulitnya hitam, dengan rambut berombak dan terkesan awut-awutan. Dari gaya bicara, orang juga akan menebak bahwa pria kelahiran 1960 itu tak mengenyam pendidikan cukup. Cak To memang tak pernah menamatkan sekolah dasar.
Dengan bahasa Madura yang sesekali dicampur bahasa Indonesia, pria beranak dua itu mengaku sadar bahwa profesinya akan selalu dicibir orang. Namun, pria asal Bangkalan tersebut tidak peduli. ”Yang penting halal,” ujarnya mantap.

Cak To bercerita, hampir seluruh hidupnya dia jalani sebagai pengemis. Sulung di antara empat bersaudara itu menjalani dunia tersebut sejak sebelum usia sepuluh tahun. Menurtu dia, tidak lama setelah peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI.
Maklum, emak dan bapaknya dulu pengemis di Bangkalan. ”Dulu awalnya saya diajak Emak untuk meminta-minta di perempatan,” ungkapnya.
Karena mengemis di Bangkalan kurang ”menjanjikan”, awal 1970-an, Cak To diajak orang tua pindah ke Surabaya. Adik-adiknya tidak ikut, dititipkan di rumah nenek di sebuah desa di sekitar Bangkalan. Tempat tinggal mereka yang pertama adalah di emprean sebuah toko di kawasan Jembatan Merah.

Bertahun-tahun lamanya mereka menjadi pengemis di Surabaya. Ketika remaja, ”bakat” Cak To untuk menjadi bos pengemis mulai terlihat.
Waktu itu, uang yang mereka dapatkan dari meminta-minta sering dirampas preman. Bapak Cak To mulai sakit-sakitan, tak kuasa membela keluarga. Sebagai anak tertua, Cak To-lah yang melawan. ”Saya sering berkelahi untuk mempertahankan uang,” ungkapnya bangga.
Meski berperawakan kurus dan hanya bertinggi badan 155 cm, Cak To berani melawan siapa pun. Dia bahkan tak segan menyerang musuhnya menggunakan pisau jika uangnya dirampas. Karena keberaniannya itulah, pria berambut ikal tersebut lantas disegani di kalangan pengemis. ”Wis tak nampek. Mon la nyalla sebet (Kalau dia bikin gara-gara, langsung saya sabet, Red),” tegasnya.
Selain harus menghadapi preman, pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika dia atau keluarga lain terkena razia petugas Satpol PP. ”Kami berpencar kalau mengemis,” jelasnya.
Kalau ada keluarga yang terkena razia, mau tidak mau mereka harus mengeluarkan uang hingga ratusan ribu untuk membebaskan.

Cak To tergolong pengemis yang mau belajar. Bertahun-tahun mengemis, berbagai ”ilmu” dia dapatkan untuk terus meningkatkan penghasilan. Mulai cara berdandan, cara berbicara, cara menghadapi aparat, dan sebagainya.
Makin lama, Cak To menjadi makin senior, hingga menjadi mentor bagi pengemis yang lain. Penghasilannya pun terus meningkat. Pada pertengahan 1990, penghasilan Cak To sudah mencapai Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu per hari. ”Pokoknya sudah enak,” katanya.
Dengan penghasilan yang terus meningkat, Cak To mampu membeli sebuah rumah sederhana di kampungnya. Saat pulang kampung, dia sering membelikan oleh-oleh cukup mewah. ”Saya pernah beli oleh-oleh sebuah tape recorder dan TV 14 inci,” kenangnya.
Saat itulah, Cak To mulai meniti langkah menjadi seorang bos pengemis. Dia mulai mengumpulkan anak buah.

Cerita tentang ”keberhasilan” Cak To menyebar cepat di kampungnya. Empat teman seumuran mengikutinya ke Surabaya. ”Kasihan, panen mereka gagal. Ya sudah, saya ajak saja,” ujarnya enteng.
Sebelum ke Surabaya, Cak To mengajari mereka cara menjadi pengemis yang baik. Pelajaran itu terus dia lanjutkan ketika mereka tinggal di rumah kontrakan di kawasan Surabaya Barat. ”Kali pertama, teman-teman mengaku malu. Tapi, saya meyakinkan bahwa dengan pekerjaan ini, mereka bisa membantu saudara di kampung,” tegasnya.
Karena sudah mengemis sebagai kelompok, mereka pun bagi-bagi wilayah kerja. Ada yang ke perumahan di kawasan Surabaya Selatan, ada yang ke Surabaya Timur.
Agar tidak mencolok, ketika berangkat, mereka berpakaian rapi. Ketika sampai di ”pos khusus”, Cak To dan empat rekannya itu lantas mengganti penampilan. Tampil compang-camping untuk menarik iba dan uang recehan.

Hanya setahun mengemis, kehidupan empat rekan tersebut menunjukkan perbaikan. Mereka tak lagi menumpang di rumah Cak To. Sudah punya kontrakan sendiri-sendiri.
Pada 1996 itu pula, pada usia ke-36, Cak To mengakhiri masa lajang. Dia menyunting seorang gadis di kampungnya. Sejak menikah, kehidupan Cak To terus menunjukkan peningkatan…

Setiap tahun, jumlah anak buah Cak To terus bertambah. Semakin banyak anak buah, semakin banyak pula setoran yang mereka berikan kepada Cak To. Makanya, sejak 2000, dia sudah tidak mengemis setiap hari.
Sebenarnya, Cak To tak mau mengungkapkan jumlah setoran yang dia dapatkan setiap hari. Setelah didesak, dia akhirnya mau buka mulut. Yaitu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu per hari, yang berarti Rp 6 juta hingga Rp 9 juta per bulan.
Menurut Cak To, dia tidak memasang target untuk anak buahnya. Dia hanya minta setoran sukarela. Ada yang setor setiap hari, seminggu sekali, atau sebulan sekali. ”Ya alhamdulillah, anak buah saya masih loyal kepada saya,” ucapnya.

Dari penghasilannya itu, Cak To bahkan mampu memberikan sebagian nafkah kepada masjid dan musala di mana dia singgah. Dia juga tercatat sebagai donatur tetap di sebuah masjid di Gresik. ”Amal itu kan ibadah. Mumpung kita masih hidup, banyaklah beramal,” katanya.
Sekarang, dengan hidup yang sudah tergolong enak itu, Cak To mengaku tinggal mengejar satu hal saja. ”Saya ingin naik haji,” ungkapnya. Bila segalanya lancar, Cak To akan mewujudkan itu pada 2010 nanti…


Kelahiran Ujung Pandang, 5 Agustus 1972, ini punya sejuta inovasi, termasuk acara "I Like Monday" di Hard Rock Cafe. Pendiri OMG Creative Consulting ini menyabet beragam penghargaan, di antaranya British Council's International Young Creative Entrepreneur, Asian Pacific Entrepreneur Award Winner (Most Promising Entrepreneurs), Young Marketers Award Winner dari IMA and Markplus, dan Future CEO to Watch dari majalah SWA. Wow!

Yoris Sebastian, Jadi GM Termuda Se-Asia

Sekarang sedang sibuk apa?
Sedang konsentrasi di Oh My Goodness (OMG) Consulting yang saya dirikan. Saya membantu klien yang mau melakukan bisnis secara berbeda atau istilahnya ala "Oh my Goodness". Saya percaya, bisnis yang dilakukan secara berbeda punya peluang sukses lebih besar ketimbang yang dilakukan secara biasa.

Bisa kasih contoh?
Yang terbaru adalah konsep Plaza FX di Jalan Sudirman. Kami konsultannya. Yang ingin kami tonjolkan adalah keunikan. Karena kalau FX mau bersaing dengan Plasa Senayan atau Senayan City, susah. FX kan size-nya kecil. Tapi selama dia punya keunikan, enggak masalah. Salah satunya kami bikin 12 ruang meeting. Kami juga sediakan 3 bus keliling sepanjang Sudirman dan SCBD selama jam kerja. Perjalanan bus bisa dicek lewat SMS. Jadi, lebih simple dan menolong kapasitas parkir FX yang kecil.

Kadang-kadang, dalam bisnis orang ingin semuanya. Padahal, sekarang eranya enggak bisa begitu. Harus punya ciri sendiri. Core segmen FX adalah orang-orang kantoran di daerah Sudirman. Nah, sekarang FX ramai banget. Itu membuktikan, selama kita punya konsep yang kuat dan unik, tapi tetap dengan perhitungan, harusnya kita juga bisa.

Jadi, lebih ke konsep bisnis ya?
Kurang lebih yang saya lakukan adalah membuat sesuatu yang tidak lazim. Jadi sekarang larinya sih lebih ke bussiness innovation concept. Orang sering nanya, "Kamu event organizer ya?" Saya bilang, saya bukan event organizer tapi event consultant. Saya lebih melakukan inovasi bisnis, tapi disesuaikan dengan karakter klien.

Kalau klien biasa pakai baju biru, jangan disuruh pakai baju oranye. Tetap pakai baju biru, tapi birunya diapain begitu. Jadi, OMG selalu bilang bahwa orang boleh berpikiran out of the box, tapi jangan out beneran. Eksekusinya tetep harus inside the box.

OMG seperti creative event planner. Contohnya Black Innovation Awards (BIA). Saya bilang, kalau bisa dikasih kesempatan lebih banyak kepada yang muda, saya yakin Indonesia bisa dapat lebih berkembang. Saya juga bisa berkembang karena ketika muda saya memperoleh banyak penghargaan. Nah, sekarang saya give it back lagi ke angkatan yang lebih muda, dengan membuat banyak awards.

Jadi konsultan apa lagi?
Selain jadi konsultan BIA, saya juga jadi konsultan untuk International Young Creative Entrepreneur Awards yang diadakan British Council, yang pernah saya menangi tahun 2006 di Inggris. Istilahnya saya naik pangkat terus. Tahun 2006 jadi peserta dan menang, tahun kedua jadi juri, tahun ketiga jadi event consultant.

Saya bantu di marketing dan sponsorship mereka. Supaya 2 tahun lagi kita bisa ngirim 8-10 orang. Saya sekarang mencari perusahaan yang punya visi yang sama supaya bisa membantu pendanaan. So far lumayan sih. Beberapa perusahaan mulai mendukung.

Apa lagi yang tengah Anda lakukan?
Banyak proyek yang "seksi dan seru" yang sedang kami garap. Dulu misalnya, saya bikin BC Bar. Itu bar pertama kali di Jakarta yang hanya buka Jumat dan Sabtu, tapi kok bisa menguntungkan. Orang kan bingung. Lho, kalau saya buka setiap hari enggak unik kan? Kalau buka Jumat dan Sabtu, orang malah penasaran. Malah saya ada ide bikin restoran yang enggak ada menunya. Tapi belum ada klien yang berani. He-he.

Omong-omong, kenapa sih namanya Oh My Goodness?
Saya sudah belasan tahun mencoba dan melakukan inovasi. Makanya ketika cari nama untuk perusahaan, saya enggak mau pakai nama sendiri. Saya ingin anak buah saya juga maju. Jadi saya bikin Oh My Goodness. Soalnya, semua yang saya bikin rata-rata aneh atau enggak biasa, tapi profitable dan penuh perhitungan.

Saya pernah kuliah akuntansi, makanya hitung-hitungan tetap benar. Tapi, tahu enggak kuliah saya enggak selesai lo. Waktu itu saya pikir-pikir, kuliah buat cari kerja. Ini kerjanya sudah dapat dan karier bagus. Dari pada keduanya setengah-setengah, saya pilih berhenti kuliah dulu. Tapi, saya bilang ke orangtua, saya akan kuliah di Universitas Terbuka. Kalau enggak, enggak bakal boleh. Tapi saya enggak menyesal karena ilmunya sudah dapat.

Terus, setelah drop out?
Niatnya memang sekolah lagi kan. Tapi, di usia 26 tahun saya jadi GM termuda di Asia dan termuda kedua di dunia (GM Hard Rock Café). Saya tanya lagi ke orangtua, "Masih perlu gelar enggak nih? Saya sudah GM nih. Kata mereka enggak usah he-he. Namanya orangtua, selalu baik. Makanya setiap kasih seminar saya selalu bilang, orangtua selalu baik, cuma sudut pandangnya beda. Jadi jangan dilawan, tapi lakukan pendekatan. Negonya begitu. Apalagi kalau masih tinggal bareng orangtua.

Bagaimana Anda melihat diri Anda sendiri?
Saya ini tidak pernah ingin berhenti berinovasi. Kalau dilihat, dari dulu sampai sekarang, setiap tahun selau ada 1-2 inovasi. Bahkan untuk kegiatan menjadi pengajar, yang saya sebut sebagai program isi bensin, saya buat yang aneh. Misalnya saya buat seminar di bioskop. Peserta ikut seminar sambil makan popcorn.

Akhirnya, saya malah mendobrak mitos bahwa guru itu duitnya enggak bagus. Dulu saya memang pernah ingin jadi guru. Sekarang, saya bisa membuat seminar yang sales-nya enggak kalah dengan menggelar event! Bedanya, event saya, ya, seminar. Dulu, di HRC saya jual makanan dan minuman sampai pagi, sekarang saya mengajar atau workshop sampai jam 5 sore, sales-nya terkejar.

Ide-ide biasanya dari mana?
Saya baca berbagai sumber, ternyata kreativitas itu adalah kebiasaan, bukan faktor turunan seperti IQ. Pakai jam misalnya, hari ini saya pakai di kiri, besok pakai di kanan. Rute ke kantor sering saya ubah-ubah. Saya pergi ke luar kota kadang pakai pesawat, kadang pakai mobil. Saya gunakan momen itu untuk melawan rutinitas. Orang-orang yang terjebak rutinitas biasanya tidak kreatif.

Sekarang lebih ekstrem lagi, di OMG saya jarang ke kantor, saya lebih suka mobile. Di kantor, saya dipanggil Invisible Boss, alias bos yang enggak kelihatan. Saya bilang, kalau saya di kantor saya akan terjebak rutinitas. Saya ke kantor hanya kalau ada rapat. Malah waktu kantor masih lebih kecil, kursi saya berikan ke orang lain saking enggak pernah kepakai.

Mungkin juga karena sejak kecil saya suka main game, walaupun tetap ada porsinya. Game membuat saya berani mengambil risiko. Jadi, benar atau enggak, dari hal-hal kecil seperti itulah kreativitas saya muncul. Waktu sekolah di Pangudi Luhur, saya sudah ikut bikin PL Fair, misalnya.

Saya selalu bilang, start small, mulailah dari hal kecil. Jangan langsung gede. Itu yang saya pelajari dari pengalaman sendiri. Dari satu, bikin I Like Monday, akhirnya mendapatkan award achievement. Dari situ muncul tantangan, masak cuma I Like Monday? Akhirnya muncul yang baru. Setelah itu saya bikin program TV, Destination Nowhere. Pergi tanpa tahu tujuan. Jadi, level kreativitas saya makin diuji terus.

Apakah sudah merasa menemukan dunia Anda?
Kalau dibilang nemu, enggak pernah tahu, ya. Dulu saya suka fotografi, saya pikir saya bakal jadi fotografer. Masuk Hard Rock, saya pikir bakal masuk dunia entertainment (Yoris juga pernah membuat IP Entertainment), sempat dapat Marketer's Award, saya pikir dunia saya di marketing.

Sebetulnya, dalam proses pencarian passion itu, yang penting kita melakukan apa yang kita suka. Juga, tetap harus bernilai ekonomis. Saya menyebutnya Happynomics. Kita mau sesuatu tapi harus ada ukuran ekonominya. Happy, tapi harus ada nilai ekonominya.

Apa yang Anda lakukan ke karyawan Anda?
Di kantor, karyawan saya harus senang knowledge, harus senang baca. Nah, tiap minggu kita membuat sharing session, membahas buku yang habis dibaca bergantian. Sekretaris juga ikut. Dengan banyak knowledge, akan banyak inspirasi, jadinya banyak inovasi. Visi kita adalah, senang knowledge, inovation, achievement. Kalau itu jalan, nantinya enggak harus bergantung ke saya, bisa jalan senidiri.

Dari sekian inovasi, mana yang paling menantang?
I Like Monday. Karena posisi saya waktu itu enggak tinggi-tinggi banget. Yang kedua, saya melawan banyak orang. Di HR itu kan terkenal karena penampilan band asing . Sementara saya percaya, musik lokal akan mendominasi musik industri, dan sekarang itu sudah terjadi, Untungnya argumentasi saya diterima. Pelajaran moralnya, jangan takut dengan umur. Yang penting kita punya reasonable reason. Dari situ saya dapat award banyak banget.

Ada target yang belum kesampaian?
Menikah. Walaupun target saya menikah usia 25 tahun biar usia dengan anak enggak jauh. Tapi itu tidak saya anggap sebagai kegagalan. In life we cannot win everything. Mungkin 1-2 tahun ke depan lah. Sekarang sedang konsentrasi bikin usaha sendiri. Mengalir saja.

Oh ya, saya juga sedang memunculkan minipreneur. Saya ajak ibu rumah tangga muda untuk bekerja dari rumah untuk beberapa proyek saya. Ini sekaligus mendukung program ibu menyusui. Ternyata banyak lho, yang berminat. Menjaringnya gampang, lewat Facebook. Jadi, mereka tetap dapat pemasukan tanpa harus kerja kantoran.

Kegiatan lain?
Saya paling senang travelling. Apalagi sekarang enak, punya usaha sendiri. Pacar juga punya usaha sendiri. Buat saya, travelling adalah part of seeing other cultures. Liburan buat saya bukan cari ide, tapi cari inspirasi. Apa yang kita bikin, sangat localized. Think globally, act locally. Jalan-jalan juga salah satu cara untuk nge-charge otak. Kebetulan pacar juga suka travelling.


Semakin tua, semakin sibuk, tak membuat Ciputra (78) kelelahan. Dari hari ke hari waktunya lebih banyak untuk memaparkan gagasan, menebarkan virus entrepreneurship. Semangat kewirausahaan.

Ciputra, Tak Lelah Beramal

Tampil dalam berbagai seminar dari pergutuan tinggi satu ke perguruan tinggi lain, dialog jarak jauh, dan bahkan narasumber di Universitas Ciputra Entrepreneurs Center (UCEC), Ciputra tak hendak cari uang.

"Ini masanya untuk beramal, menularkan gagasan. Tak ada kata lelah untuk beramal, berbuat untuk kepentingan bangsa. Bagaimana mengubah masa depan bangsa dan masa depan anak bangsa, menjadi semakin lebih baik," ujarnya, Jumat (13/11) pekan lalu, di sela -sela menunggu Menko Kesra Agung Laksono.

Beramal dengan gagasan, dengan waktu, dan dengan uang, diyakini Ciputra membuat dia mendapatkan lebih banyak dari apa yang dia berikan. Setidak-tidaknya karunia kesehatan dan kesempatan menularkan pengalaman dan gagasan.

"Sudah sejak tiga tahun lalu, saya selain mendidik calon-calon entrepreneurs dan menyiapkan para pendidik/pelatih entrepreneurs, juga minta waktu sejumlah menteri agar turut mendorong dan memasukkan gerakan entrepreneur dalam program-programnya," ungkap Ciputra.

Sore itu, Raja Properti Indonesia itu selain memaparkan latar belakang gagasannya, juga menghadiahi Agung Laksono buku Ciputra Quantum Lead, Entrepreneurship Mengubah Masa Depan Bangsa dan Masa Depan Anda .

Menurut Ciputra, pentingnya entrepreneurship tak sebatas mengatasi pengangguran dan kemiskinan, tapi juga mengatasi ketidakadilan. Karena itu, Ciputra menganggap harus ada gerakan nasional bersama.

Dari 2.850 perguruan tinggi, sudah terbentuk 315 Entrepreneurs Centre. Dan menandai 100 hari program kerja kabinet, digelar seminar nasional dan sekaligus peresmian Entrepreneur Centre.

Ciputra menyarankan adanya Hari Entrepreneurs, Agung Laksono pun mendukung. Dia berkomitmen akan mencarikan tanggal dan bulannya kapan.


Saya lahir pada tahun 1933, di Padang, Sumatera Barat. Alhamdulillah sejak kecil orang tua mendidik saya dengan ajaran Islam yang ketat. Ayah saya berlatar pedagang. Sejak saya kecil, ia juga mendidik saya untuk berdagang. Sekaligus mengajarkan akhlaq berdagang.

Suatu saat tanpa disadari, ayah saya kurang mengembalikan uang pembeli. Tetapi pembeli itu diam saja dan berlalu. Lekas dipanggilnya orang itu. Sewaktu saya bertanya mengapa dikembalikan sisa uangnya sedangkan orang itu tidak tahu. Ayah menjawab, Allah Maha Tahu. Sikap demikian akhirnya tertanam dalam hati nurani saya.

Sewaktu baru berumur 11 tahun, saya sudah diberinya sejumlah uang. “Kamu mau dagang apa, terserah,” ujarnya lembut. Setiap pulang “berdagang”, saya melaporkan pendapatan saya. “Berapa kamu dapat ? Bagus,” pujinya. Waktu itu saya berinisiatif menjual kelapa. Dengan menggunakan gerobak, saya membeli kelapa di rumah penduduk, dan menjualnya ke pasar dengan jarak tempuh sampai 10 km.

Tapi ayah tetap mengutamakan pendidikan formal. “Jangan tinggalkan sekolah.”itu selalu ia tekankan. Lulus SMA saya meneruskan studi ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Setelah lulus, saya bekerja sebagai Direktur BPD. Saya sudah bertekad, suatu saat harus mandiri. Setelah tujuh tahun bekerja di BPD, saya menolak diperpanjang masa jabatan. Saya merasa inilah titik awal permulaan usaha saya. Saya mesti berdiri di atas kaki sendiri.

Maka sejak 1967, saya mulai menekuni berbagai bidang usaha. Hingga sepuluh tahun kemudian, sewaktu mencoba bisnis properti kecil-kecilan, saya sadar, usaha itu sudah tidak bisa lagi saya kembangkan.

Lalu pada tahun 1978, saya memutuskan keliling Eropa, melakukan “studi banding”, apa sih yang sebaiknya saya kembangkan. Akhirnya saya menemukan, yang pokok diperlukan manusia itu sandang dan pangan. Ternyata siapa yang bergerak di bidang itu, asalkan mempraktekkan teori-teori yang benar, dapat berkembang.

Pada tahun 1979, mulailah saya membuka TIP TOP di Rawamangun. Waktu itu hanya toko kecil, semacam mini market. Saya memulai dari bawah, dari nol. Luas lantainya hanya 400 M2. Saya juga pergi ke pasar-pasar tradisional membeli bawang, cabai langsung sama mbok-mbok penjualnya. Ini berlangsung sekitar dua tahun. Bagi saya ini banyak hikmahnya, saya jadi tahu perputaran arus barang mulai dari bawah.

Sejak awal saya sudah mematok mini market itu harus berdasarkan prinsip-prinsip Islami. Bukan hanya tidak menjual daging babi dan minuman keras, tetapi saya juga selektif memilih barang. Misalnya daging sapi atau ayam, kalau harganya terlalu murah, atau tidak jelas memotongnya Islami atau tidak, saya tolak. Bagi saya justru nmencurigakan kalau harganya terlalu murah, dari mana dapat daging itu? Jadi barang-barang yang tidak jelas asal usulnya tak mau saya terima. Saya juga perlu melihat langsung tempat pemotongan hewannya.Saya berusaha memprotect, agar hanya barang yang halal dan thoyyib saja yang dijual.

Saya juga mencoba mengikuti bagaimana nabi berdagang, tentunya sepanjang yang saya ketahui. Nabi Muhammad berdagang sesuai dengan hati nuraninya, tidak mau menipu, mencelakakan atau menganiaya orang. Ini saya coba terapkan. Bagi saya kalau sudah cukup untung 2 sampai 3 % jangan mengambil 5 atau 10 %. Setahu saya prinsip dalam Islam itu, carilah pendapatan secukupnya untuk dirimu. Jadi walaupun barangnya halal, tapi kalau harganya mahal, bagi saya tidak baik, dan tidak Islami juga jadinya.

Ternyata dasar Islami ini mendapat respon positif dari masyarakat. Tip Top mendapat sambutan di luar dugaan saya. Perkembangannya demikian cepat, bagaikan air bah saja. Lahan seluas 400 M2 itu tidak mencukupi. Tiap tahun saya harus memperluas , dengan membongkar bagian rumah saya di samping mini market. Tahun 1985, Tip Top sudah berubah jadi Pasar Swalayan, dengan luas 3000 M2 dan kenaikan penjualan 20 hingga 30 kali lipat.

Berdasarkan pemantauan kami, pelanggannya tidak hanya yang tinggal di Rawamangun saja, tapi meluas hampir di seluruh Jakarta Timur. Saya merasa ini tak lain karena ridlo Allah. Dengan kesadaran ini, saya semakin takut untuk keluar dari jalur Islami. Tawaran dari supplier barang yang tidak Islami, misalnya minuman keras, bukannya tidak ada. Bahkan fasilitasnya mudah dan keuntungannya besar. Saya tetap menolak semuanya.

Hingga pada Juni 1991, Allah menguji saya. Kebakaran besar tiba-tiba menimpa Tip Top.Semuanya habis terbakar. Inventaris, stok-stok barang, gedung, ludes terbakar semuanya. Tak ada lagi yang tersisa. Hingga menjelang shubuh, api yang mengamuk sejak jam satu malam masih berkobar. Pemadam kebakaran boleh dibilang minim bantuannya, karena sedang terjadi kebakaran juga di Jatinegara.

Sewaktu melihat api yang menjilat-jilat itu, saya sempat berfikir, apakah ini hukuman atau cobaan dari Allah. Bagi saya, kalaupun ini hukuman, saya tetap bersyukur. Berarti Allah masih berkenan memperingatkan saya dan masih memberi kesempatan saya memperbaiki diri. Sewaktu api masih mengganas, saya pulang untuk sholat shubuh. Setelah sholat, rasanya muncul cahaya, bahwa ternyata itu bukan hukuman. Tapi cobaan dari Allah. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa pada waktu itu saya dicoba.

Pagi hari para karyawan berdatangan. Tak pelak lagi mereka terkejut, sedih, bahkan menangis. Saya hadapi mereka, saya sampaikan apa yang saya yakini. Bahwa kita sedang dicoba oleh Allah, apakah mampu atau tidak kita melewatinya. Kalau mampu, kita akan “naik kelas”. Kalau tidak, malah akan ditutup segala pintu rizki oleh Allah. Sayapun sudah bertekad, harus bangkit kembali.

Setelah musibah itu, tanpa saya duga sama sekali, pihak Pemda meminta Tip Top harus berdiri kembali. Jam sepuluh pagi sesudah kebakaran itu, mereka bilang,”Kalau perlu buka saja disini(areal Pemda-red). Kalau pun mau membangun kembali di tempat lama, apa kesulitannya, kami yang akan urus.” Saya sangat terharu. Rasaya mereka kok lebih berkepentingan daripada kami.

Wakil Gubernur saat itu menanyakan, berapa karyawan yang teraniaya akibat kebakaran itu. Saat itu ada sekitar 200 karyawan yang menggantungkan hidupnya pada Tip Top. Ternyata ia menyampaikan, mereka akan disantuni Pemerintah DKI. “Kalau soal ijin dan lainnya, saudara tidak usah khawatirkan. Pemerintah DKI akan berada di belakang saudara.” ujarnya pada saya. Itu suatu support luar biasa yang sama sekali tidak saya duga sebelumnya. Tambah kuat keyakinan saya bahwa ini cobaan dari Allah. Masalah-masalah setelah kebakaran rasanya dimudahkan saja oleh-Nya.

Hal lain yang juga di luar dugaan saya, adalah mudahnya saya memperoleh pinjaman dalam jumlah sangat besar, buat membangun kembali Tip Top. Pertolongan-pertolongan yang tidak disangka sama sekali, ternyata saya dapatkan dengan mudah. Saya pikir itulah kehendak Allah. Sebagai manusia, saya dengan sendirinya sangat terharu dengan karunia Allah ini.

Sekitar dua minggu kemudian, Tip Top dibangun kembali. Di areal lama. Bulan September, separoh dari supermarket sudah dapat dibuka kembali. Saat itu hutang saya kepada supplier mencapai dua milyar lebih. Tapi, Alhamdulillaah, mereka tetap percaya kepada kami. Walaupun hutang itu belum bisa dibayar, mereka tetap mensupli kami dengan barang-barang baru.

Pada Februari 1992, keadaan kembali seperti semula,. Setelah enam bulan sebelumnya kami bekerja siang dan malam. Dengan sendirinya kami mengalami berbagai pembaharuan. Bergerak dengan semangat, kemampuan, situasi serta keadaan yang baru. Ternyata para pelanggan juga tidak meninggalkan kami. Akhirnya, masih pada tahun 1992 itu, semua hutang saya pada supplier sudah bisa terbayar. Suatu hal yamg tak saya sangka. Saat itu kembali saya disadarkan, kalau Allah berkenan memberi rizki, dengan mudah saja Ia berikan.

Pada tahun 1992, seseorang tiba-tiba menawarkan sebidang tanah seluas dua hektar di Bogor. Awalnya, saya sempat pikir-pikir, apa gunanya. Tapi kembali saya merenung, barangkali Allah mau menguji saya, mampukah saya mengambil manfaat dari tawaran tanah itu. Akhirnya tanah itu saya beli. Pada tahun 1993 saya dirikan Panti Yatim Piatu.

Pada tahun itu pula saya dapat membuka cabang. Padahal, terus terang, saya juga tidak tahu dari mana uangnya. Saya juga heran, kok bisa. Padahal baru dua tahun saya terkena musibah. Agaknya itu yang Allah janjikan, kalau engkau dekat dengan-Ku, Aku lebih dekat. Ternyata cabang Tip Top itu pesat perkembangannya. Pada tahun 1999 kami membuka cabang di kawasan Tangerang. Insya Allah pada tahun 2001 kami akan membuka satu atau dua cabang lagi. Di setiap cabang itu, kami tetap menegakkan prinsip awal, yaitu supermarket berjiwa Islami.

Terhadap suppiler dan pembeli, sikap jujur tetap saya utamakan. Itu merupakan modal pokok usaha. Supplier mensuply barang puluhan milyar. Bagaimana mungkin mereka percaya, kalau saya tidak jujur. Pernah pula datang seorang pembeli yang mengeluhkan harga barang kami. Menurutnya, ternyata di tempat lain, ada barang serupa dengan harga lebih murah. Boleh jadi kami tertipu, “tertidur” atau pedagang lain berusaha men-cut prinsip kami. Setelah kami cek dan benar harga di sana lebih murah, kami kembalikan selisih harganya kepada pembeli itu.

Kini, kami mulai mempunyai anak-anak angkat, mereka ingin bergerak di bidang usaha ini tapi tidak tahu caranya. Mereka kami bimbing, tanpa memperhatikan unsur komersialnya. Kalau sudah berkembang, kami lepas. Sekarang sudah ada beberapa yang sudah bisa dilepas. Bahkan sudah membuka cabang-cabang mini marketnya.

Kami berusaha tetap eksis di Indoensia ini. Tentunya nanti akan lebih banyak lagi ”serbuan” pesaing yang masuk, setelah AFTA 2003. Tapi, insya Allah kami bisa menghadapi itu. Dan saya yakin seyakin-yakinnya, Allah akan melindungi usaha-usaha yang diridloi-Nya.

Ke depannya, cita-cita saya, saya sangat ingin membuka supermarket di dekat Masjidil Haram atau Masjid Nabawi.

Sekali lagi, saya sangat bersyukur, orang tua menganut Islam yang baik dan mengupayakan saya demikian juga. Yang saya sayangkan mereka keburu berpulang, dan belum sempat menikmati hasil kerja keras dan rizki Allah pada saya. Saya belum sempat menyenangkan mereka. Tapi Allah sudah memutuskan. Saya hanya bisa berdoa, mudah-mudahkan mereka mendapat tempat layak di sisi-Nya.

Kini, saya mempunyai generasi penerus, putra-putri saya. Insya Allah usaha ini akan jatuh ke tangan yang benar. Jangan sampai goyah membawa prinsip Islam dalam perjalanan selanjutnya. Saya optimis, Insya Allah, usaha-usaha apapun, termasuk swalayan yang berada dalam koridor Islam, akan dapat berkembang terus.

Seperti dikisahkan Bapak Rusman Maamoer,

pendiri Swalayan Tip Top, kepada Tarbawi.

Sumber : http://safeourlife.info/node/84


Apa jadinya jika seorang calon dokter gigi justru merambah bisnis televisi? Jika ingin tahu jawabannya, lihatlah sosok Chairul Tanjung, pebisnis asli pribumi yang kini namanya berkibar dengan Grup TransTV dan Trans7. Berkat kesulitan ekonomi yang menderanya, ternyata hal tersebut justru menjadi bekal mengasah ketajaman insting bisnisnya.

Saat kuliah di Fakultas Kedokteran gigi Universitas Indonesia, pada periode tahun 1980-an, ia memang harus memenuhi kebutuhan kuliahnya sendiri. Meski terlahir dari keluarga yang cukup berada, karena perubahan keadaan politik, keluarganya terpaksa menjalani kehidupan seadanya. Dari rumah yang tergolong besar, mereka harus menjualnya, dan menyewa sebuah losmen sempit.

Kisah Sukses Chairul TanjungNamun, ternyata, kesulitan ini justru membuat Chairul membulatkan tekadnya untuk kembali berjuang meraih kesuksesan," Saya bercita-cita jadi orang besar." Maka, lepas dari SMA Boedi Utomo Jakarta, ia pun masuk ke Fakultas Kedokteran Gigi UI. Kesulitan biaya kuliah membuatnya harus kreatif mencari dana untuk meneruskan sekolahnya. Maka, kelahiran Jakarta, 18 Juni 1962 ini pun lantas memulai bisnis kecil-kecilan. Mulai dari berjualan buku kuliah stensilan, kaos, sepatu, dan aneka barang lain di kampus dan kepada teman-temannya. Dari modal usaha itu, ia berhasil membuka sebuah toko peralatan kedokteran dan laboratorium di daerah Senen Raya, Jakarta. Sayang, karena sifat sosialnya - yang sering memberi fasilitas kepada rekan kuliah, serta sering menraktir teman - usaha itu bangkrut.

Namun, rupanya, menjadi pebisnis telah memikat hatinya. Walau bangkrut, ia justru langsung mencoba usaha lain, kali ini di bidang kontraktor. Meski juga kurang berhasil, ia merasa mendapat pelajaran banyak hal dari bisnis-bisnis yang pernah ditanganinya. Dari bekal pengetahuan itu, ia memberanikan mendirikan CV pertamanya pada tahun 1984 dan menjadikannya PT pada tahun 1987. Dari PT bernama Pariarti Shindutama itu, ia berkongsi dengan dua rekannya mendirikan pabrik sepatu. Kepiawaiannya menjaring hubungan bisnis langsung membuat sepatu produksinya mendapat pesanan sebanyak 160 ribu pasang dari pengusaha Italia. Dari kesuksesan ini, bisnisnya merambah ke industri genting, sandal, dan properti. Namun, di tengah kesuksesan itu, rupanya ia mengalami perbedaan visi dengan kedua rekannya. Maka, ia pun memilih menjalankan sendiri usahanya.

Ternyata, ia justru bisa makin berkembang dengan berbagai usahanya. Ia pun lantas memfokuskan usahanya ke tiga bisnis inti, yakni: keuangan, properti, dan multimedia. Melalui tangan dinginnya, ia mengakuisisi sebuah bank kecil yang nyaris bangkrut, Bank Tugu. Keputusan yang dianggap kontoversial saat itu oleh orang dekatnya. Namun, pengalaman bangkit dari kegagalan rupanya mengajarkannya banyak hal. Ia justru berhasil mengangkat bank itu, - setelah mengubah namanya menjadi Bank Mega - menjadi bank papan atas dengan omset di atas Rp1 triliun saat ini.

Selain itu, suami dari dokter gigi Ratna Anitasari ini juga merambah bisnis sekuritas, asuransi jiwa dan asuransi kerugian. Kemudian, di bisnis properti, ia juga telah membuat sebuah proyek prestisius di Kota Bandung, yang dikenal dengan Bandung Supermall. Dan, salah satu usaha yang paling melambungkan namanya yaitu bisnis televisi, TransTV. Pada bisnis pertelevisian ini, ia juga dikenal berhasil mengakuisisi televisi yang nyaris bangkrut TV7, dan kini berhasil mengubahnya jadi Trans7 yang juga cukup sukses.

Tak heran, dengan semua prestasinya, ia layak disebut sebagai "The Rising Star". Bahkan, baru-baru ini, ia dinobatkan sebagai orang terkaya Indonesia, di posisi ke-18, dengan total kekayaan mencapai 450 juta dolar AS. Sebuah prestasi yang mungkin tak pernah dibayangkannya saat memulai usaha kecil-kecilan, demi mendapat biaya kuliah, ketika masih kuliah di UI dulu.

Hal itulah yang barangkali membuat Chairul Tanjung selalu tampil apa adanya, tanpa kesan ingin memamerkan kesuksesannya. Selain itu, rupanya ia pun tak lupa pada masa lalunya. Karenanya, ia pun kini getol menjalankan berbagai kegiatan sosial. Mulai dari PMI, Komite Kemanusiaan Indonesia, anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia dan sebagainya. "Kini waktu saya lebih dari 50% saya curahkan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan," ungkapnya.

Pencapaian Chairul Tanjung sebagai tokoh bisnis yang gemilang, dengan berbagai jenis usahanya, telah membuat ia dinobatkan sebagai "The Rising Star". Ia mampu membuktikan, bahwa kebangkrutan dan kegagalan, justru bisa menjadi bahan pembelajaran guna meraih sukses yang luar biasa di kemudian hari. Dan, yang terpenting, di tengah kesuksesannya, ia kini tak lupa berbagi, dengan menjadi pegiat berbagai urusan sosial kemasyarakatan. Sebuah catatan kehidupan seorang Chairung Tanjung yang bisa diteladani kita semua.


Fauzi Saleh, contoh seorang pengusaha sukses sekaligus dermawan. Ini berkat kompak dengan karyawannya. Derai tawa dan langgam bicaranya khas betawi. Itulah gaya H. Fauzi Saleh dalam meladeni tamunya.

Pengusaha perumahan mewah Pesona Depok dan Pesona Khayangan yang hanya lulusan SMP tersebut memang lahir dan dibesarkan di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Setamat dari SMP pada tahun 1966, beliau telah merasakan kerasnya kehidupan di ibukota.

Saat itu Fauzi terpaksa bekerja sebagai pencuci mobil di sebuah bengkel dengan gaji Rp 700 per minggu. Bahkan delapan tahun silam, dia masih dikenal sebagai penjaga gudang di sebuah perusahaan. Tapi, kehidupan ibarat roda yang berputar.
>
Sekarang posisi ayah 6 anak yang berusia 45 tahun ini sedang berada diatas. Pada hari ulang tahunnya itu, pria bertubuh kecil ini memberikan 50 unit mobil kepada 50 dari sekitar 100 karyawan tetapnya. Selain itu para karyawan tetap dan sekitar 2.000 buruh mendapat bonus sebulan gaji. Total Dalam setahun, karyawan dan buruhnya mendapat 22 kali gaji sebagai tambahan, 3 bulan gaji saat Idul Fitri, 2 bulan gaji saat bulan Ramadhan dan Hari Raya Haji, dan 1 bulan gaji saat 17 Agustus, tahun baru dan hari ulang tahun Fauzi. Selain itu, setiap karyawan dan buruh mendapat Rp 5.000 saat selesai shalat Jumat dari masjid miliknya di kompleks perumahan Pesona Depok.

Sikap dermawan ini tampaknya tak lepas dari pandangan Fauzi, yang menilai orang-orang yang bekerja padanya sebagai kekasih. “Karena mereka bekerjalah saya mendapat rezeki.”, katanya. Manajemen kasih sayang yang diterapkan Fauzi ternyata ampuh untuk
memajukan perusahaan. Seluruh karyawan bekerja bahu-membahu. “Mereka seperti bekerja di perusahaan sendiri.” Katanya.

Prinsip manajemen “Bismillah” itu telah dilakukan ketika mulai berusaha pada tahun 1989 silam, yaitu setelah dia berhenti bekerja sebagai petugas keamanan. Berbekal uang simpanan dari hasil ngobyek sebagai tukang taman,sebesar 30 juta, beliau kemudian membeli tanah 6 x 15 meter sekaligus membangun rumah di jalan jatipadang, jakarta selatan.

Untuk menyiapkan rumah itu secara utuh diperlukan tambahan dana sebesar 10 juta. Meski demikian, Fauzi tidak berputus asa. Setiap malam jumat, Fauzi dan pekerjanya sebanyak 12 orang, selalu melakukan wirid Yasiin, zikir dan memanjatkan doa agar usaha yang sedang mereka rintis bisa berhasil. Mungkin karena usaha itu dimulai dengan sikap pasrah, rumah itupun siap juga. Nasib baik memihak Fauzi. Rumah yang beliau bangun itu laku Rp 51 juta. Uang hasil penjualan itu selanjutnya digunakan untuk membeli tanah,
membangun rumah, dan menjual kembali. Begitu seterusnya, hingga pada 1992 usaha Fauzi membesar. Tahun itu, lewat PT. Pedoman Tata Bangun yang beliau dirikan, Fauzi mulai membangun 470 unit rumah mewah Pesona Depok 1 dan dilanjutkan dengan 360 unit rumah pesona Depok 2. Selanjutnya dibangun pula Pesona Khayangan yang juga di Depok. Kini telah dibangun Pesona Khayangan 1 sebanyak 500 unit rumah dan pesona khayangan 2 sebanyak 1100 unit rumah. Sedangkan pesona khayangan 3 dan 4 masih dalam tahap pematangan tanah.

Harga rumah group pesona milik Fauzi tersebut antara 200 juta hingga 600 juta per unit. Yang menarik tradisi pengajian setiap malam jumat yang dilakukannya sejak awal, tidak ditinggalkan. Sekali dalam sebulan, dia menggelar pengajian akbar yang disebut dengan pesona dzikir yang dihadiri seluruh buruh, keluarga dan kerabat di komplek pesona khayangan pertengahan september lalu, ada sekitar 4.000 orang yang hadir. Setiap orang yang hadir mendapatkan sarung dan 3 stel gamis untuk shalat. Setelah itu, ketika
beranjak pulang, setiap orang tanpa kecuali, diberi nasi kotak dan uang Rp 10.000. tidak mengherankan, suasana berlangsung sangat akrab. Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Tidak ada perbedaan antara bawahan dan atasan. Menurut Fauzi, beliau sendiri tidak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini.

“Ini semua dari Alloh. Saya tidak ada apa2nya.” Kata pria yang sehari-hari berpenampilan sederhana ini. Karena menyadari bahwa semua harta itu pemberian Alloh, Fauzi tidak lupa mengembalikannya dalam bentuk infak dan shadaqoh kepada yang membutuhkan. Tercatat, beberapa masjid telah dia bangun dan sejumlah kaum dhuafa dan janda telah disantuninya. Usaha yang dijalankannya tersebut, menurut Fauzi ibarat menanam padi. “Dengan bertanam padi, rumput dan ilalang akan tumbuh. Ini berbeda kalau kita bertanam rumput, padi tidak akan tumbuh”. Kata Fauzi.

Artinya, Fauzi tidak menginginkan hasil usaha untuk dirinya sendiri. “Saya hanya mengambil, sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan sosial.” Katanya.

Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk kegiatan sosial, sedangkan selebihnya dipakai sebagai modal usaha. Sejak empat tahun lalu, ada Rp 70 milyar yang digunakan untuk kegiatan sosial.

“Jadi, keuntungan perusahaan ini adalah nol.” Kata Fauzi. ” Jika setiap bangun pagi , kita bisa mensyukuri dengan tulus apa yang
telah kita miliki hari ini, niscaya sepanjang hari kita bisa menikmati hidup ini dengan bahagia”


Bercita-cita menjadi seorang pengusaha sukses dan memiliki banyak harta yang melimpah tentunya menjadi keinginan setiap orang. Tidak mustahil, itu semua tentu saja bisa menjadi kenyataan asalkan dibarengi dengan usaha dan do'a. sebagai contoh kita lihat para pengusaha lokal yang sukses merintis perusahaannya dari 0 (nol), perusahaan yang mereka miliki sekarang ini bukanlah warisan dari dari orangtuanya, tetapi murni hasil dari kerja keras dirinya sendiri. Mungkin sepenggal kisah pengusaha tas asal Bandung yang satu ini bisa menginspirasi Anda untuk menjadi seorang entrepreuneur yang sukses. yuk, langsung saja kita simak penggalan kisahnya.

Rony Lukito, pengusaha tas terbesar di Indonesia ini dulunya adalah seorang anak dari keluarga yang memperihatinkan. Orangtuanya bukanlah dari kaum berada. Dimasa remajanya Rony yang tinggal di Bandung adalah sosok pemuda yang rajin dan tekun, dia bukan seorang lulusan perguruan tinggi negeri atau pun perguaruan tinggi swasta terfavorit. Melainkan dia hanyalah seorang lulusan STM (Sekolah Teknologi Menengah), meskipun sebenarnya dia sangat ingin sekali melanjutkan study-nya di salah satu perguruan tingggi swasta terfavorit di Bandung. Namun keinginannya itu tidak menjadi kenyataan karena harus terbentur masalah keuangan.

Semenjak bersekolah di STM Rony sudah terbiasa berjualan susu yang dibungkus dengan plastik-plastik kecil, diikat dengan karet, kemudian susu tersebut ia jual kerumah-rumah tetangganya dengan menggunakan sepeda motor miliknya. Masa remaja Rony di Bandung dilewati dengan penuh kesederhanaan yang jauh dari kehidupan serba ada apalagi yang disebut kehidupan glamour. Sesuatu yang tidak berlebihan jika banyak orang yang mengatakan bahwa keberhasilan itu memang akan selalu berpihak kepada orang-orang yang mau bekerja keras dan sungguh-sungguh ingin merubah nasibnya. Demikian pula Rony yang sejak remaja biasa bekerja, kini ia berhasil menjadi pengusaha sukses di bisnis tas berkat serangkaian usaha dan kerja kerasnya. Tidak salah memang jika Rony dikatakan sebagai seorang pengusaha tas terbesar di Indonesia.

Itu memang bukan kalimat yang berlebihan, lihat saja produk yang di hasilkan dari perusahaan Rony, B&B Incorporations (B&B Inc.) merajai pasar tas yang ada di Indonesia. Para pengunjung taktiku tentu kenal dengan merek-merek tas yang sudah populer ini, seperti: Eiger, Export, Neosack, Bodypack, Nordwand, Morphosa, World Series, Extrem, Vertic, Domus Danica, Broklyn dll. Mungkin merek tersebut dikalangan anak sekolah dan kuliahan sudah tidak asing lagi, yang memang produk-produk hasil perusahaan Rony sengaja di targetkan untuk kalangan pelajar.

Semua merek tas tersebut di distribusikan secara nasional, sehingga wajar bila merek dagangnya sudah sangat terkenal. Produk Rony juga tersedia di berbagai outlet modern seperti Toserba Ramayana, Matahari Departemen Store, Robinson, dan berbagai hypermart seperti Carrefour, hingga jaringan toko-toko buku seperti Gramedia, dan Gunung Agung belum lagi toko-toko dan grosir tradisional lainnya.

hmmm... luar biasa bukan ?. Bagaimana, apakah Anda sudah tertarik untuk menjadi seorang entrepreuneur? :) Perusahaan Rony murni dari hasil kerja kerasnya sendiri, bukanlah warisan dari orangtuanya.

Sumber: Buku 10 pengusaha yang sukses membangun bisnis dari 0


Kalau ada orang menjadi kaya setelah bersusah-payah membangun bisnis bertahun-tahun, itu hal biasa. Tetapi jika mendengar anak muda berkantong tebal dengan cara mudah, jelas menarik untuk ditelusuri.

Cosa Aranda jutawan. Nyaris tak ada yang tahu. Hanya mereka yang rajin keluar masuk situs milik Cosa, panggilannya, yang paham betul. bahkan teman kuliahnya baru bulan lau tahu bahwa orang inilah yang sering dibicarakan di Google AdSense dan Adwords.

Memiliki Penghasilan dari iklan yang masuk di situs milik Google ini awalnya memang mimpi bercampur coba-coba. "Jika ada yang mengatakan berbisnis iklan di Internet mudah menghasilkan uang, itu bohong", Kata lelaki 25 tahun ini saat ditemui di rumahnya di Surabaya, Rabu (1/8) Berbeda dengan banyak orang yang menganggap bisnis seperti ini bisa dilakukan sambil lalu dengan hasil tak terbatas, COsa justru menganggap pekerjaan ini berat. Sangat berat.

Ketika pertama kali membuat situs yang berawal dari blog pribadi, dia harus jungkir balik menghabiskan waktu 8-10 jam sehari. Selama itu dia tidak keluar kamar. Dan ini terjadi pada bulan-bulan pertama saat membangun www.cosaaranda.com April 2005.

Percobaan demi percobaan dilakukan dengan telaten. Kesulitan utama yang dialami mahasiswa semester akhir jurusan Sistem Informasi Sekolah Tinggi Manajemen Informatikan dan Teknik Komputer (Stikom) surabaya ini adalah melakukan promosi. Karena niat awalnya belajar dan mencoba, Cosa memilih cara gratis lewat search engine. setelah itu, menunggu "dan berdo'a", kelakarnya.

Penantian itu tak sia-sia. Tiga minggu setelah diluncurkan, ada juga iklan yang datang. semakin banyak pengunjung yang datang ke situsnya, makin besar kemungkinan iklan di klik. Jika pengguna melakukan transaksi, maka publisher, pemilik situs yang sudah bergabung dengan Google Adsense dan surah pula memasang iklan AdSense di situs mereka, mendapat fee. biasanya 20 persen dari harga iklan.

"Bulan pertama saya mendapat 1 dollar AS. wah.. senang sekali. Ternyata laku juga", kata sulung dari dua bersaudara yang terkesan berhati-hati ketika berbincang.

Satu dolar AS inilah yang memacu Cosa memoles situsnya. Tidak dengan tampilan artistik tetapi dengan isi yang paling dibutuhkan orang. Dia meng up date data setiap hari. Dengan demikian setiap hari pula orang berkunjung karena membutuhkan informasi terkini dan penting.

Sekarang situs ini dikunjungi 800-1.000 pengguna setia hari. Ini membuat perolehan Cosa dimungkinkan makin besar. Ledakan penghasilannya baru di dapat tiga bulan setelah menunggu dan berdoa. Jika Oktober 2005 penghasilannya Rp. 1 dolar AS, akhir juli 2007 dia mendapat kiriman cek 5.000 dolar AS atau lebih dari Rp. 45 juta. Ini baru perolehan lewat Google Adsense. Padahal dia juga memiliki jalur lain, Adwords. Jika semua ditotal, Juli Kemarin Cosa mendapat lebih Rp. 90 juta.

Cosa memang kaya, tetapi belajar dari buku Seven Years To Seven Figures karangan Michael Masterson, kaya menurut Cosa adalah kondisi saat segala kebutuhan terpenuhi, baik yang bersifat sekunder maupun darurat atau mendadak. "Saya tabung uangnya. Saya ingin punya rumah sendiri", kata lelaki yang mengaku belum punya kekasih ini.

Putra pasangan Drs. Toto, Soedjianto dan Ir. Yustisia Martani ini ingin menjadi full time blogger. Awalnya keluarga dari Jawa Tengah ini tak sadar jika Cosa punya bisnis di kamarnya. Yang mereka tahu anak mereka 'gila' internet. Baru setelah ada kiriman cek, mereka paham.

Tetapi sambil bergurau Cosa mengaku tak tahu harus mengatakan apa pada calon mertua bila ditanya pekerjaan. "Pokoknya saya jawab kerja di Internet. Mudah-mudahan bisa mengerti", katanya sambil tertawa ngakak. Karena semuanya sudah tertata, sekarang Cosa hanya butuh dua jam untuk up date dan setelah itu waktu luangnya diisi dengan jalan-jalan ke mal dan membaca. Jangan salah, bukan buku komputer atau teknologi yang jadi favoritnya melainkan komik. Tahun ini atas desakan para kerabat di situsnya, akhirnya Cosa membuat workshop di warnet. Tiga kali workshop dilakukan di Surabaya. Pesertanya tak lebih dari 30 orang.

"Saya lebih suka kelas kecil karena semua pertanyaan bisa dijawab dan langsung praktik", tutur pelahap film apa saja ini yang tidak memungut biaya kecuali untuk membayar pemakaian internet di warnet.

"Di Jogjakarta banyak publisher yang penghasilannya lebih hebat. Saya belum apa-apa. Tetapi kalau ada yang mau mengikuti cara ini, ayo sama-sama belajar", tuturnya.


Kerut di wajah wanita ini menggambarkan betapa keras jalur hidup yang ditempuhnya. Susi Pujiastuti (45) merangkak sebagai pedagang ikan segar. Ia sukses di industri perikanan modern dan penerbangan carter beraset ratusan miliar rupiah.

Tak pelak, PT Excelcomindo Pratama (Tbk), perusahaan telekomunikasi, menganugerahinya predikat The Best Indonesia Berprestasi 2009. Saat ini, wanita yang hanya lulusan SMP itu mengelola dua perusahaan.

Masing-masing adalah PT ASI Pujiastuti Marine Product yang bergerak di bisnis perikanan, dan Susi Air yang merupakan maskapai sewa dengan 22 pesawat propeler. Dari dua perusahaan itu, Susi bisa menghidupi ribuan karyawan.

Jalan hidup wanita yang hanya lulusan SMP ini penuh liku sampai akhirnya berhasil

Jalan hidup wanita yang hanya lulusan SMP ini penuh liku sampai akhirnya berhasil

Jalan hidup wanita ini memang penuh liku. Seusai memutuskan keluar dari bangku SMA di Cilacap, Jawa Tengah, pada 1983, Susi mulai menjalani pekerjaannya sebagai pengepul ikan dengan modal pas-pasan.

Usahanya terus berkembang. Setahun kemudian, dia berhasil menguasai pasar Cilacap. Tidak puas hanya berbisnis ikan laut di satu daerah, Susi mulai melirik daerah Pangandaran di pantai selatan Jawa Barat.

Ternyata, di sana keberuntungan Susi datang. Usaha perikanannya maju pesat. Jika semula dia hanya memperdagangkan ikan dan udang, maka Susi mulai memasarkan komoditas yang lebih berorientasi ekspor, yaitu lobster.

Kini Susi memiliki lebih dari 20 pesawat, sebuah nilai perjuangan hidup seorang wanita

Kini Susi memiliki lebih dari 20 pesawat, sebuah nilai perjuangan hidup seorang wanita

Dia membawa dagangannya sendiri ke Jakarta untuk ditawarkan ke berbagai restoran seafood dan diekspor. Karena permintaan luar negeri sangat besar, untuk menyediakan stok lobster, Susi harus berkeliling Indonesia mencari sumber suplai lobster.

Masalah pun timbul. Problem justru karena stok sangat banyak, tetapi transportasi, terutama udara, sangat terbatas. Untuk mengirim dengan kapal laut terlalu lama karena lobster bisa terancam busuk atau menurun kualitasnya.

Pada saat itulah timbul ide Susi lainnya untuk membeli sebuah pesawat. Christian von Strombeck, suaminya yang kebetulan warga negara asing yang berprofesi sebagai pilot pesawat carteran asal Jerman mendukungnya.

Sebuah pesawat jenis Cessna dia beli. Alat transportasi itu sangat membantunya meningkatkan produktivitas perdagangan ikannya. Nilai jual komoditas nelayan di daerah juga naik.

“Nelayan bisa mendapatkan nilai tambah. Misalnya saja, lobster di Pulau Mentawai yang tadinya hanya dijual Rp 40.000 per kilo, setelah itu bisa dinaikkan menjadi Rp 80.000 per kilo saat itu,” kata Susi kepada Persda Network.

Jadi, kebutuhan terhadap pesawat penumpang pun semakin meningkat seiring dengan ekspor yang terus bertambah. Belakangan, pesawat yang tadinya hanya untuk mengangkut barang dagangan laut, dia coba sewakan kepada masyarakat yang ingin menumpang.

“Ternyata, permintaan transportasi sangat besar karenanya kita pun mengembangkan bisnis pesawat carter ini dan Susi Air,” ujarnya.

Saat ini, Susi Air memiliki 22 pesawat kecil, antara lain jenis Cessna Grand, Avanti, dan Porter yang dioperasikan oleh 80 pilot. Sebanyak 26 pilot di antaranya adalah pilot asing.

Harga pesawat Cessna saat ini Rp 20 miliar per unit. Adapun harga pesawat Avanti bisa empat kali lebih mahal.

Maskapai Susi Air saat ini beroperasi di hampir semua daerah pelosok di Indonesia. Untuk mengembangkan bisnisnya ini, Susi bertekad menambah pesawat lagi hingga mencapai 40 unit pada akhir tahun depan dengan investasi sekitar Rp 200 miliar.

“Yang penting kita tingkatkan layanan agar pelanggan semakin suka pada kita,” ujarnya berfalsafah.


Kuliah boleh saja di bidang teknik, bahkan melanjutkan S2 di bidang manajemen proyek, tapi bisnis franchise makanannya menggurita. Menjadi narasumber di tv, radio, koran, dan majalah adalah hal biasa.

Cak Eko, arek Suroboyo asli yang baru berusia 34 tahun ini adalah pendiri dan pemilik waralaba Bakso Malang Kota “Cak Eko”. Pemilik nama lengkap Henky Eko Sriyantono ini adalah sarjana Teknik Sipil ITS.

Prestasinya? Luar biasa. Di umur masih masih muda, dia baru saja dinobatkan oleh koran Bisnis Indonesia sebagai juara I “Bisnis Indonesia Young Entrepreneur Award 2008” untuk kategori utama.

Penganugerahan paling gress adalah menyabet juara I Wirausaha Muda Mandiri 2008. Penyerahaan penghargaan ajang bergengsi dari Bank Mandiri tersebut dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla didampingi oleh Menteri BUMN Sofyan Jalil. Acara tersebut disaksikan oleh 1500 undangan yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center, 3 Desember 2008.

Masih ada lagi yang terbaru, tanggal 11 Desember 2008 usaha Cak Eko Bakso Malang Kota “Cak Eko” menyabet Penghargaan The Best In Business Prospect Indonesia Franchise Start Up 2008.

Penghargaan lainnya adalah “Indonesian Innovative Creative Award 2007” dari Menteri Koperasi & UKM, Menakertrans & Menperin, “Indonesian Small Medium Business Entrepreneur Award 2007” dari Menkop & UKM.

Tidak hanya bisnis bakso, Cak Eko juga pemilik & pendiri waralaba “Soto Ayam Kampoeng Jolali” yang didirikan tahun 2007, serta waralaba “Ayam & Bebek Goreng Sambel Bledeg” yang baru didirikan tahun ini.

Mewariskan ilmu wirausaha juga sudah mulai dilakukannya. Ada empat buku yang diterbitkan Elexmedia yakni ”Resep Paling Manjur Menjadi Karyawan Kaya Raya (September 2007)”, “15 Jurus Antirugi Buka Usaha Rumah Makan (Juli 2008)”, ”Obat Paling Mujarab Sembuhkan Penyakit Penyebab Kebangkrutan Usaha (Oktober 2008)”, dan “The Cak Eko Way, Kiat Menggapai Kesuksesan Bisnis Bermodal Tekad dan Sedekah (rencana terbit 22 Desember 2008)”

Lebih lengkapnya tentang bisnis Cak Eko, berikut wawancara dengan Cak Eko, termasuk kisah jatuh-bangunnya membangun bisnisnya.

Sampai sekarang, berapa franchise yang berhasil anda jual?

82 franchise. Permintaan cukup banyak baik dari wilayah Jabodetabek sendiri maupun wilayah luar Jawa. Ini tidak terlepas dari strategi positioning, diferensiasi dan branding yang selalu kami gunakan dalam mengembangkan bisnis franchise ini sehingga nama/merek makin dikenal dan nilai penjualan masing-masing gerai/cabang meningkat.

Berapa omsetnya?

Omset 1 cabang bervariasi ada yang 15jt sebulan, ada yang 30 juta sebulan bahkan yang tertinggi ada yang mencapai 120 juta perbulan

Berapa jumlah angkatan kerja yang terserap?

Untuk tiap cabang minimal 4-6 orang. Jadi secara keseluruhan mencapai 350 - 400 tenaga kerja dengan tingkat pendidikan sebagian besar lulusan SMA.

Dari mana anda mendapat resep2nya?

Dari belajar sendiri saat di Surabaya dan melakukan berbagai eksperimen memadukan berbagai resep baik dari majalah, mengikuti kursus (untuk menu tambahan), buku resep di toko buku maupun resep dari internet yang saya lakukan selama 3 bulan lamanya.

Saat belum semaju sekarang, apa kendala yang anda hadapi?

Kendala yang dihadapi adalah masalah membangun merek yang benar-banar baru dari nol, disamping itu adalah masalah mencari pelanggan.

Nah, untuk mereka yang baru membeli franchise anda. Ada tips supaya mereka maju?
Tips bagi franchisee agar dapat maju adalah :
1. aktif terlibat dalam pengawasan operasional
2. Melakukan promosi secara kontinyu (tidak hanya diawal pembukaan saja)
3. Aktif berkomunikasi dengan franchisor apabila ada masalah
4. Mentaati SOP (Standar Operasional dan Prosedur)
5. Mempunyai niat, kesabaran, ketekunan serta keyakinan kuat bahwa usahanya akan berhasil.

Sebelumnya anda bekerja sebagai apa? Lalu kenapa memutuskan keluar?
Bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan pemerintah. Memutuskan berwirausaha karena ingin membuka lapangan kerja serta membuat hidup lebih berkualitas dari segi kesejahteraan serta mempunyai waktu lebih untuk keluarga.
Ada tips untuk masyarakat yang ingin sukses seperti anda? (dalam hal penciptaan atau inovasi terbaru)
Tips dari saya yang terpenting agar sukses adalah :
1. Berani memulai
2. Mempunyai keyakinan yang kuat untuk sukses
3. Jeli melihat peluang
4. Menciptakan merek usaha yang unik
5. Memodifikasi produk sesuai keinginan pasar
6. Terlibat secara langsung dari awal proses usaha

Lalu langkah apa yang akan anda lakukan untuk mencapainya?

Melakukan strategi penguatan merek di tingkat nasional selanjutnya mengikuti pameran-pameran franchise yang diadakan di luar negeri.

Untuk menjadi franchise Anda bagaimana caranya?
Mempunyai lokasi yang strategis baik di mal, di jalan utama dekat perkantoran, kampus, pemukiman padat penduduk, stasiun, bandara, pasar modern dll. Selanjutnya lokasi tersebut kami lakukan survey untuk menentukan kelayakannya. Apabila sudah kami nyatakan layak, selanjutnya tahap kontrak dimana nilai investasinya disesuaikan dengan tipenya.
Ada tiga tipe investasi yaitu :
1. Tipe Foodcourt di mall dengan investasi 50 juta ini sudah meliputi biaya franchise fee dan semua peralatan
2. Tipe Mini Resto di ruko/mal (uk.40-80m2) dengan investasi sebesar 80 juta ini juga sudah meliputi biaya franchise fee dan semua peralatan termasuk meja kursi
3. Tipe Resto di ruko/mal/stasiun/bandara (uk.>80m2) dengan investasi sebesar 110 juta juga sudah meliputi biaya franchise fee dan semua peralatan termasuk meja kursi.
Untuk lebih detilnya, dapat dilihat di www.baksomalangcakeko.co.nr

Selanjutnya calon franchisee juga menyediakan karyawan minimal 4 orang yang akan kami training selama 2 hari meliputi praktek memasak, menyajikan dan etika pelayanan.

Setelah sukses sekarang, apa obsesi anda berikutnya?

Obsesi saya adalah Bakso Malang Kota ”Cak Eko” merambah ke seluruh penjuru dunia. Keinginan ini sejalan dengan visi saya yaitu menjadi waralaba makanan tradisional Indonesia yang mendunia. Dalam waktu dekat kami akan membuka cabang di Singapura dan California USA.

*****

Suksesnya Cak Eko tidak ujug-ujug. Ada masa jatuh bangun. Ada perjuangan sangat berat yang kini berujung pada mengguritanya bisnis franchisenya. Berikut ini kisahnya:

Tahun 1997, saat baru pertama kali hijrah di Jakarta saya pernah jual-beli HP second. Saya beli HP second dari Jakarta, dijual di Surabaya. Cuma bertahan 1 tahun karena semakin lama marjin yang saya dapatkan kecil. Harga jual HP second di Jakarta dan Surabaya hampir sama.

Tahun 1998, saya mencoba peruntungan di bisnis MLM. Namun saya hanya bisa bertahan selama 6 bulan dikarenakan jiwa saya tidak bisa sepenuhnya menjalankan bisnis ini secara maksimal.

Tahun 1999, karena sedang booming agrobisnis, saya patungan dengan 7 orang teman. Menanam jahe gajah 3 ha di Sukabumi. Operasional, perawatan dan penanaman kami percayakan kepada KUD setempat. Kami mengunjungi setiap 2 minggu sekali.

Saat panen kami gagal. Tonase tidak sesuai dengan perkiraan. Kegagalan ini lebih disebabkan oleh faktor kurangnya pengawasan dan pengetahuan tentang ilmu pertanian. Uang modal 5 juta saat itu yang sebenarnya saya harapkan bisa berlipat sebagai modal nikah tahun 2000 habis tak berbekas.
Tahun 2000, dengan segala keterbatasan, saya menikah di Surabaya. Beberapa hari setelah pernikahan, istri langsung saya boyong ke kost-kost-an yang sudah dipersiapkan di Jakarta. Tempat yang sangat sederhana dan tidak ada perabot apapun. Uang sisa-sisa sumbangan pernikahan saya gunakan untuk membeli sebuah kasur dan beberapa perlengkapan lain.
Hidup di Jakarta bersama istri dengan gaji pas-pasan adalah problem. Uang gaji yang tidak seberapa membuat saya kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti uang belanja, sewa kamar (kost) hingga keperluan-keperluan lainnya. Dalam posisi yang serba sulit dan terjepit itulah adrenalin saya kembali naik. Keinginan saya muncul kembali, yaitu keinginan untuk kembali berbisnis !!
Berbagai informasi dan peluang saya cari melalui internet. Saya dapat peluang untuk mengirimkan sebuah artikel teknik ke Jepang. Dengan berbekal kemampuan menulis dan didukung dengan kenekatan saya mengirimkan abstraksi makalah dan berhasil. Abstraksi naskah saya diterima dan saya berkesempatan jalan-jalan gratis ke Jepang.
Saya tidak menghabiskan semua biaya perjalanan yang saya dapat dan pada saat kembali ke Tanah Air. Bisa mengumpulkan uang sebesar 13 juta sisa dari perjalanan saya ke Jepang. Intuisi bisnis saya segera berputar. Uang 13 juta untuk apa?
Pilihan saya jatuh pada menjalani bisnis tas dan dompet kulit produksi Tanggulangin Sidoarjo. Bisnis berjalan lancar. Barang yang saya datangkan dari Tanggulangin saya sebar ke butik-butik di Jakarta.
Yang menjadi persoalan adalah pembayaran dari butik-butik tersebut tidak selancar yang diharapkan. Sistem konsinyasi yang diterapkan tidak mendukung kelancaran cash flow. Banyak tagihan yang tertunda hingga membuat saya kesulitan memutar uang.
Setelah satu tahun berjalan saya memutuskan untuk berhenti dari bisnis tersebut. Barang-barang yang berada di butik pun saya tarik semuanya dan dibawa pulang kerumah untuk saya bagi-bagikan kepada keluarga. Alih-alih mendapat untung, modal usaha sebesar 13 juta pun amblas.
Saya bukan tipikal orang yang mudah menyerah dan putus asa. Setelah gagal berbisnis Jahe Gajah dan tas kulit, bisnis lainpun saya coba. Tahun 2001 pilihan saya jatuh pada bisnis busana muslim. Dengan modal sebesar 5 juta yang berasal dari pinjaman koperasi kantor, bisnis busana muslimpun saya jalani.
Saya pilih pasar Tanah Abang Jakarta sebagai tempat kulakan dan kota Surabaya menjadi tujuan saya untuk melempar barang. Bisnis saya berkembang pesat dengan tingkat keuntungan mencapai 100%. Kala itu saya tidak mengambil keuntungan usaha untuk keperluan konsumtif. Keuntungan yang saya dapat saya tambahkan lagi sebagai modal hingga akhirnya aset yang saya miliki makin berkembang.
Lama kelamaan banyak orang yang meniru bisnis ini dan kompetitor mulai bermunculan dengan harga yang lebih murah. Hingga akhirnya omset bisnis saya turun drastis. Setelah saya jalani selama 1 ½ tahun, walaupun tidak rugi total, saya memutuskan untuk berhenti dan beralih ke bisnis kerajinan tangan (handy craft).
Pertengahan tahun 2002, saya melihat-lihat pameran handy craft dan tertarik dengan kerajinan miniatur becak & sepeda yang dipajang di salah satu stand. Saya mencoba untuk memproduksinya sendiri. Tiap sabtu dan minggu saya membawa proposal penawaran ke beberapa hotel dan pasar swalayan di Jakarta.
Beberapa tempat bersedia menerima produk tersebut. Lagi-lagi persoalannya semua hanya bersedia menerima barang dengan sistem konsinyasi. Kesulitan cash flow kembali terulang. Setelah berjalan 6 bulan bisnis kerajinan tangan inipun saya tutup.

Awal tahun 2003 saya kembali bangkit untuk berbisnis. Kali ini saya mencoba menggeluti bisnis catering rumahan di perumahan Vila Nusa Indah II tempat tinggal saya kala itu. Awalnya bisnis ini berprospek bagus, namun kompetitor membuat bisnis ini harus membuat inovasi baru.

Kala itu saya mencoba untuk membikin variasi menu makanan yang bisa menjadi pilihan para pelanggan. Saya sebar brosur untuk agar mendapatkan pelanggan baru. Namun adanya kompetitor baru yang lebih kreatif dan inovatif, maka bisnis inipun mengalami penurunan omset. Bisnis inipun tidak saya teruskan.
Tahun 2004, saya tertarik dengan sebuah produk franchise makanan ringan sejenis crispy. Dengan modal uang 5 juta saya beli franchise tersebut dan mulai berjualan di kompleks perumahan villa Nusa Indah, Jati Asih, Bekasi.
Tiga bulan pertama, sangat ramai (memperoleh omset sebesar Rp. 250.000/hari). Rupanya keberuntungan belum berpihak pada saya. Karena setelah ramai selama tiga bulan, bulan-bulan selanjutnya omset turun drastis. Untuk mengatasi hal tersebut maka saya putuskan untuk pindah ke lokasi lain. Di lokasi yang baru tersebut bisa diperoleh omset sebesar Rp. 150.000 dengan prosentase keuntungan sebesar 30%.
Memang di bisnis ini tidak mengalami kerugian namun saya merasa prospek kedepan bisnis ini tidak terlalu bagus hingga akhirnya bisnis inipun saya sudahi setelah berjalan 1 tahun walau kontrak waralabanya 2 tahun.

Pengalaman mengambil bisnis waralaba itu membawa hikmah tersendiri bagi saya. Impian besarnya sangat kuat, yaitu ingin memiliki sebuah bisnis yang menerapkan sistem franchise. Jeda waktu satu tahun (2005) saya manfaatkannya untuk mempelajari dan mengamati berbagai jenis usaha franchise yang sudah ada.

Obsesinya adalah menjadi pemilik waralaba bisnis makanan pun terus berkobar. Hingga akhirnya sekitar tahun 2005 (menjelang Ramadhan), pada saat mengantar saudara ke stasiun Gambir dan bandara Soekarno-Hatta, saya tertarik melihat sebuah rumah makan bakso yang selalu ramai dikunjungi pembeli.

Intuisi saya segera muncul bahwa inilah jenis bisnis yang selama ini saya cari dimana dengan hanya menjual bakso yang saat itu dikenal dengan makanan rakyat namun bisa masuk bandara yang sewanya pertahun mencapai ratusan juta. Di bulan dan di tahun itupula saya langsung mempunyai niat yang kuat untuk belajar ilmu membuat bakso di Surabaya.

Saya segera belajar dari juru masak bakso yang dikenalkan oleh kerabat dekat. Sehari penuh saya belajar ilmu memasak dan membikin bakso tanpa mengalami kendala karena memang hobi saya adalah memasak. Sesampai di Jakarta langsung saya melakukan berbagai eksperimen selama 3 bulan dengan menggabungkan resep-resep yang saya cari dari berbagai sumber. Tujuannya untuk bisa mendapatkan resep bakso yang khas dan memiliki cita rasa yang tinggi.

Akhirnya kerja keras saya tidak sia-sia. Formula spesial bakso Malang pun berhasil saya temukan. Setelah yakin dengan pilihan (bisnis bakso) dan formula yang saya miliki, saya memulai bisnis di daerah Jatiwarna Bekasi di sebuah pujasera dengan sistem bagi hasil, dengan diberi nama Bakso Malang Kota “Cak Eko”.

Terbukti warung bakso saya sangat diminati pelanggan. Melihat animo pelanggan yang begitu besar, pada pertengahan tahun 2006, saya memberanikan diri untuk membuka cabang di Tamini Square dengan modal sebesar 25 juta yang saya dapatkan dari menyisihkan keuntungan penjualan perbulan ditambah dengan sedikit uang pinjaman.

Rupanya bisnis baksolah yang membawa peruntungan bagi saya dan istri.Dalam waktu singkat, outlet di Tamini Square ramai dikunjungi pelanggan. Bahkan tidak sedikit yang berminat untuk mengambil franchise dalam bisnis bakso yang saya geluti.

September 2006, saya mulai menawarkan kemitraan melalui website (internet). Konsep bisnis bakso Malang Kota “Cak Eko” langsung mendapatkan respon positif dari masyarakat. Keberhasilan saya dalam membangun bisnis bakso beramai-ramai diberitakan media massa hingga akhirnya bisnis franchise Bakso Malang Kota “Cak Eko” berkembang pesat.

Tak kurang dari 30 cabang baru bermunculan hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Saat ini cabang Bakso Malang Kota “Cak Eko” telah mencapai 85 cabang yang tersebar luas di wilayah Jabodetabek, Palembang, Pekanbaru, Banda Aceh, Duri Riau, Bengkulu, Jambi, Serang, Bandung, Kudus, Solo, Surabaya, Makasar, Sintang, Tarakan, Palangkaraya, Sangata, Bontang, Palu dan masih banyak permintaan dari seluruh Indonesia.

Siapapun sudah bisa menjalankan bisnis Bakso Malang Cak Eko dengan jaminan supplay bahan baku dan SOP (Standard Operating Procedure) yang sudah teruji.


Purdi E Chandra lahir di Lampung 9 September 1959. Secara “tak resmi” Purdi sudah mulai berbisnis sejak ia masih duduk di bangku SMP di Lampung, yakni ketika dirinya beternak ayam dan bebek, dan kemudian menjual telurnya di pasar.

Bisnis “resminya” sendiri dimulai pada 10 Maret 1982, yakni ketika ia bersama teman-temannya mendirikan Lembaga Bimbingan Test Primagama (kemudian menjadi bimbingan belajar). Waktu mendirikan bisnisnya tersebut Purdi masih tercatat sebagai mahasiswa di 4 fakultas dari 2 Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Namun karena merasa “tidak mendapat apa-apa” ia nekad meninggalkan dunia pendidikan untuk menggeluti dunia bisnis.
Dengan “jatuh bangun” Purdi menjalankan Primagama. Dari semula hanya 1 outlet dengan hanya 2 murid, Primagama sedikit demi sedikit berkembang. Kini murid Primagama sudah menjadi lebih dari 100 ribu orang per-tahun, dengan ratusan outlet di ratusan kota di Indonesia. Karena perkembangan itu Primagama ahirnya dikukuhkan sebagai Bimbingan Belajar Terbesar di Indonesia oleh MURI (Museum Rekor Indonesia).
Mengenai bisnisnya, Purdi mengaku banyak belajar dari ibunya. Sementara untuk masalah kepemimpinan dan organisasi, sang ayahlah yang lebih banyak memberi bimbingan dan arahan. Bekal dari kedua orang tua Purdi tersebut semakin lengkap dengan dukungan penuh sang Istri Triningsih Kusuma Astuti dan kedua putranya Fesha maupun Zidan. Pada awal-awal berdirinya Primagama, Purdi selalu ditemani sang istri untuk berkeliling kota di seluruh Indonesia membuka cabang-cabang Primagama. Dan atas bantuan istrinya pula usaha tersebut makin berkembang.
Kini Primagama sudah menjadi Holding Company yang membawahi lebih dari 20 anak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang seperti: Pendidikan Formal, Pendidikan Non-Formal, Telekomunikasi, Biro Perjalanan, Rumah Makan, Supermarket, Asuransi, Meubelair, Lapangan Golf dan lain sebagainya.
Walaupun kesibukannya sebagai entrepreneur sangat tinggi, namun jiwa organisatoris Purdi tetap disalurkan di berbagai organisasi. Tercatat Purdi pernah menjabat sebagai Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) cabang Yogyakarta dan pengurus Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) DIY. Selain itu Purdi pernah juga tercatat sebagai anggota MPR RI Utusan Daerah DIY. (sumber : www.purdiechandra.com)

Wawancara dengan Majalah BERWIRAUSAHA 22-09-200
Untuk jadi seorang entrepreneur sejati, tidak perlu IP tinggi, ijazah, apalagi modal uang. “Saat yang tepat itu justru saat kita tidak punya apa-apa. Pakai ilmu street smart saja,” ungkap Purdi E Chandra, Dirut Yayasan Primagama.
Menurutnya, kemampuan otak kanan yang kreatif dan inovatif saja sudah memadai. Banyak orang ragu berbisnis cuma gara-gara terlalu pintar. Sebaliknya, orang yang oleh guru-guru formal dianggap bodoh karena nilainya jelek, justru melejit jadi wirausahawan sukses.
“Masalahnya jika orang terlalu tahu risikonya, terlalu banyak berhitung, dia malah tidak akan berani buka usaha,” tambah ‘konglomerat bimbingan tes’ itu. Purdi yang lahir di Lampung 9 September 1959 memang jadi model wirausaha jalanan, plus modal nekad. la tinggalkan kuliahnya di empat fakultas di UGM dan IKIP Yogyakarta. Lalu dengan modal Rp.300 ribu ia dirikan lembaga bimbingan tes Primagama 10 Maret 1982 di Yogyakarta. Sebuah peluang bisnis potensial yang kala itu tidak banyak dilirik orang. la sukses membuat Primagama beromset hampir 70 milyar per tahun, dengan 200 outlet di lebih dari 106 kota. la dirikan IMKI, Restoran Sari Reja, Promarket, AMIKOM, Entrepreneur University, dan terakhir Sekolah Tinggi Psikologi di Yogyakarta.

Grup Primagama pun merambah bidang radio,penerbitan, jasa wisata, ritel, dll. Semua diawalkan dari keberanian mengambil risiko. Kini Purdi lebih banyak lagi ‘berdakwah’ tentang entrepreneurship. Bagi Purdi, entrepreneur sukses pastilah bisa menciptakan banyak lapangan kerja. Namun, itu saja tidak cukup berarti bagi bangsa ini. “Saya memimpikan bisa melahirkan banyak lagi pengusaha-pengusaha. Dengan demikian, makin banyak pula lapangan kerja diciptakan. Itulah Mega Entrepreneur,” ungkap Purdi kepada Edy Zaqeus dan David S. Simatupang dari Majalah BERWIRAUSAHA.
Berikut petikan wawancara yang berlangsung di kantor cabang Primagama Jakarta.
Bagaimana semangat wirausaha masyarakat kita?

Mungkin begini. Salahnya pendidikan kita itu, kebanyakan orang lulus sarjana baru cari kerja. Jadi pengusaha itu mungkin malah orang-orang yang kepepet. Yang tidak diterima di mana-mana, baru dia sadar dan bikin usaha sendiri. Mestinya, kesadaran seperti ini bisa untuk orang-orang yang tidak kepepet. Alasannya, kalau mau usaha harus ada modal, punya ketrampilan. Padahal tidak harus begitu. Saat yang tepat itu justru saat kita tidak punya apa-apa. Ibaratnya kalau kita punya ijazah pun, tidak usah dipikirin. Saya dulu tak tergantung dengan selembar kertas itu. Sekarang mau dijaminkan di bank juga tidak bisa. Hanya buat senang-senang saja kalau sudah sarjana.
Memang saya lihat pendidikan kita itu dari otak kiri saja. Padahal kalau kita garap yang kanan, porsinya banyak, maka otomatis otak kirinya naik. Tapi kalau kita banyakin kiri, kanan ndak ikut naik. Kanan itu adalah praktek. Saya bilang street smart.
Cerdas di lapangan, di jalanan. Orang yang akademik, sekolahnya pintar, IP atau nilai tinggi, dia tidak berani menentang teori. Jadi robotlah. Kalau di situ jadi topeng monyet. Dia tidak berani membuat kreasi sendiri. Padahal hidup dia itu bukan di masa lalu. Hidup dia itu kan di masa datang, dan itu serba berubah cepat. Tidak ada yang sama dengan teori yang dia pelajari. Teori itu kan hasil temuan. Kenapa kita tidak bisa menemukan sendiri? Saya punya contoh, manajemen di Primagama, yang tidak ada di teori. Kalau pun ada di teori pasti disalah-salahkan.
Apa itu?

Di Primagama, suami-istri bekerja dalam satu kantor itu malah kita anjurkan. Di lain tempat dan di teori itu ndak boleh! Tapi saya praktekkan, ternyata jalan, bagus. Saya melihat, mereka masing-masing bisa saling mengontrol. Maka, menantang teori itu yang utama. Saya malah bisa menaikkan omset Primagama 60%.

Contohnya lagi, iklan Primagama yang pakai aktor Rano Karno. Menurut orang kampus, dan pernah dibahas di sana, itu ndak bener! Menurut teori ndak benar. Tapi nyatanya, bagus hasilnya? Saya dulu pernah pakai Sarlito (pakar psikologi dan pendidikan:rec), malah ndak ada hasilnya, walau dia doktor atau apa. Jadi street smart itu…
Apa artinya street smart?

Cerdas di jalanan. Ada academic smart atau school smart. Tapi street smart itu cerdas dengan praktek. Jadi begini, kalau kita punya pengetahuan dengan benar, pengetahuan itu kan akademik. Kita tidak strong, gugur! Kita tidak akan bisa. Kita tidak akan bisa benar. Waktu SD itu ada bacaan-bacaan begini; “Ibu pergi ke pasar membeli sayur.” Kok tidak yang menjual sayur saja?

Kok kata-katanya selalu membeli, bukan menjual? Teryata setelah saya urut-urut, yang nulis itu guru. Coba kalau isinya diubah menjadi menjual, itu akan lain.
Kenapa tertarik menonjolkan sisi menjualnya?

Kalau saya bertransaksi, itu nilai tambah. Dalam transaksi, duit paling banyak itu kan pengusahanya? Dan paling banyak milik pengusaha. Coba kalau misalnya yang satu membeli saja. Akan terbatas transaksinya. Sehingga kalau memang harus banyak pengusahanya, ya untuk menjual.

Setuju dengan pemikiran Kiyosaki “If you want to be rich and happy, don’t go to school” ?
Kalau saya if you want to be rich and happy, ya…. Kalau ingin kaya, ngapain sekolah? Kalau di sekolah tidak akan happy dan kaya. Pendidikan kita tidak bikin happy, malah bikin stres anak. Porsi mainnya kurang. Sejak Taman Kanak-kanak sudah dipaksa main otak kiri. Mungkin itu karena dari mentrinya sampai orang-orang tuanya itu otak kiri semua, kan? Dikatakan figur yang bagus itu yang profesor, yang doktor. Padahal kalau kita pilah, yang pintar sekolah memang jadi dosen, jadi dokter. Yang sedang-sedang saja jadi manajer. Tapi yang bodo-bodo sekolahnya malah jadi pengusaha.

Penelitian di Harvard begitu. Penyikapan guru terhadap anak yang bodo kok divonis tidak punya masa depan? Mungkin dia berani, kreatif, bisa menemukan apa yang tidak ditemukan oleh anak-anak pintar.
Nah, pendidikan kita itu semua mau dijadikan ilmuwan. Seolah ngejar otak kiri saja, ngejar school smart saja.
Apa yang harus dilakukan untuk membongkar sistem seperti itu?

Memang berat karena dari dulu juga begitu. Maka harus lewat luar, kegiatan-kegiatan ekstra. Maka saya usulkan pendidikan kita dibuat dua sistem; sistem ijazah dan sistem tanpa ijazah. Kalau sekolah tanpa ijazah, orang akan cenderung cari ketrampilan dari praktek yang kelihatan. Yang pakai ijazah untuk yang mau jadi dosen, jadi dokter, jadi ilmuwan.

Kalau pelajaran kimia yang pakai ijazah, ya ilmuwan itulah. Kalau kimia yang tidak pakai ijazah, pilihannya ya bikin deterjen, bikin sirup, bikin apa saja yang ada manfaatnya. Kalau semua harus belajar kimia, padahal kita tidak tertarik, berarti dipaksa dan tidak happy jadi nya.Kalau di tataran konseptual, apa yang mesti dilakukan?

Saya kira Dikbud itu merasa bahwa yang menentukan masa depan Indonesia itu dia. Bikin kurikulum, walaupun sumbernya dari masyarakat, tapi sering terlambat. Kurikulum tahun lalu baru dipakai sekarang. Lebih cepat di luar, kan? Maka kalau saya, pendidikan itu tidak usah diatur. Perguruan Tinggi siapa pun boleh bikin. Dan itu masyarakat yang menilai. Hukum pasar! Titel MBA atau apa dilarang, kenapa? Alamiah aja. Nanti kalau kebanjiran itu orang ndak mau pakai, kan ndak masalah? Kalau banyak manajer belajar ilmu untuk mendapatkan MBA, itu kan bagus? Dalam pendidikan itu sebenarnya mereka dagang.
Kalau model-model pendidikan itu masyarakat yang mengembangkan, mungkin baru bagus. Karena pas dengan zaman itu. Misalnya Mc Donald mau bikin Universitas Mc Donald, kenapa tidak?
Bagaimana dengan Entrepreneur University yang Anda dirikan?

Sebagai entrepreneur, saya punya visi Mega Entrepreneur. Artinya bagaimana seorang pengusaha bisa menciptakan pengusaha lainnya. Kalau pengusaha bisa menciptakan lapangan kerja, itu sudah biasa. Yang saya kejar adalah bagaimana saya bisa menciptakan banyak pengusaha. Dulu visi saya memang menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Kalau seperti itu kan lama. Mungkin hanya ribuan lapangan kerja. Tapi kalau bisa menciptakan banyak pengusaha, lapangan kerja yang tercipta lebih banyak lagi.
Karyawan saya pun saya usahakan bisa jadi pengusaha. Kayak manajer-manajer saya, semua sudah punya usaha di luar. Saya ditentang oleh Renald Kasali. Katanya menurut teori itu tidak bisa. ‘Orang kerja kok diajak merangkap jadi pengusaha, itu ndak bisa!’. Saya praktekkan ternyata bisa. Manajer saya punya perusahaan mebel.
Menurut Kiyosaki, di sini dia sebagai employee, di luar dia sebagai business owner karena yang mengelola orang lain. Ada manajer saya yang buka bengkel motor. Sopir saya punya kenteng mobil. Sopir saya yang lain punya bisnis jual bell handphone.
Karyawan-karyawan itu mau jadi manajer semua ? ndak mungkin kan…
Harapan paling besar saya, ya mereka jadi pengusaha.
Sejak kapan Entrepreneur University berjalan?

Entrepreneur University (EU) berjalan baru setahun. Sebelumnya kita sudah sering adakan pelatihan di mana-mana. Tapi cuma beberapa hari, lalu selesai tidak ada follow up. Sekarang lebih jelas, kita ada follow up. Misalnya kita adakan tiga bulan, setelah itu ada klub entrepreneur. Yang itu bisa dilakukan lewat internet, pertemuan-pertemuan, dan juga konsultasi seperti tadi. Di EU diutamakan yang indeks prestasinya (IP) rendah. Memang pernah ada yang protes, orang mau masuk tapi IP-nya tinggi, dia jadi minder. Tapi memang saya lebih mudah mengajar orang yang tidak pintar. Kalau otak kiri sudah kuat, susah berubahnya.
Misalnya dia kuliah di akuntansi, yang feasible tidak feasible, udah, ndak berani-berani dia. Usaha itu bukan perhitungan sebelumnya. Hitungan yang terjadi, itulah usaha. Banyak yang terjadi kita tidak tahu dan tidak kita pikirkan sebelumnya. Saya di Primagama dulu kalau dipikir tidak rasional. Modal saya cuma Rp.300 ribu saja. Sekarang asetnya sudah hampir Rp.100 milyar, kan?
Rasionalnya di mana?

Tadi seorang direksi bank yang ingin membuat usaha. Seperti dia, dihitung-hitung terus, selalu tidak positif. Akhirnya tidak berani buka usaha. Saya bilang, “Jangan dihitung terus!” Usaha itu dibuka, baru dihitung. Ini street smart. Kalau dihitung baru dibuka, ndak akan buka-buka usaha. Makanya, yang membuat orang takut itu bukan sisi gelap, tapi justru sisi terang. Karena terang itu tahu hitung-hitungannya, tahu risikonya gedhe, jadi takut. Kalau gelap, tidak tahu apa-apa, usaha itu tidak takut. Dihitung atau tidak dihitung itu sama saja kok.
Padahal entrepreneur harus berani ambil risiko…

Itulah, ambil risiko itu berarti harus gelap. Maksudnya jangan terlalu banyak tahu. Setelah jalan, kita pakai ilmu street smart tadi. Street smart itu yang melahirkan kecerdasan entrepreneur yang dibutuhkan untuk pemula usaha. Isi kecerdasan entrepreneur itu ya kecerdasan emosional, spiritual, dan basisnya di otak kanan.
Bagaimana cara Anda merealisasikan gagasan Mega Entrepreneur?

EU ini saya yang buka dan pelatihannya saya yang mengajar sendiri. Saya bukan cari untunglah, tapi semacam aktulisasilah buat saya. Karena saya ingin jadi Mega Entrepreneur tadi. Sehingga saya bela-belain, ndak harus untung. Kalau nombokpun saya mau untuk memberikan dakwah tentang entrepreneurship ini. Itu yang saya lakukan, dan sudah dua angkatan EU di lima kota. Perkembangan pesertanya cukup positif. Yang sama sekali tidak berani berusaha, kini jadi berani.
Bagaimana tren kewirausahaan ke depan?

Saya kira itu suatu keharusan. Kalau negara ini mau maju, harus banyak pengusahanya. Kita belum ada kementrian yang khusus mengurusi wirausaha. Di Indonesia banyak bisnis yang bisa dikembangkan menjadi franchise dan tidak harus yang mahal. Di Malaysia sudah ada kementriannya, dan mentrinya mendorong mereka yang mau usaha franchise dsb.
Bagaimana entrepreneur yang ideal itu?

Ukuran ideal saya adalah dari banyaknya lapangan kerja yang diciptakan. Pengusaha yang bisa melahirkan pengusaha-pengusaha baru. Bisnisnya kalau bisa yang baik-baiklah. Saya suka mengurusi bisnis yang langsung ke pasar. Yang menilai dan menentukan bisnis saya ya pasar. Saya ndak model dengan bisnis lobi-lobi yang harus berhubungan dengan pemerintah.Pernah mengalami pencerahan selama menjadi entrepreneur?

Saya mengembangkan sisi spiritual melalui dzikir atau meditasi. Bisnis itu, kalau bisa ya melibatkan yang “di atas”. Tidak bisa berjalan dengan diri kita sendiri. Maka saya kembangkan kecerdasan spiritual. Kalau menggunakan intuisi saja, hanya bisa menunjukkan sesuatu tujuan itu seperti apa…. Tapi kalau dzikir, melibatkan Tuhan, kuncinya justru membuat tujuan itu terjadi.
Misalnya diramal orang kita tidak hoki. Dengan dzikir itu bisa jadi hoki. Yang tidak baik jadi baik. Arah negatif bisa jadi positif. Maka, menantang teori itu yang utama! Makanya, yang membuat orang takut itu bukan sisi gelap, tapi justru sisi terang.
Bangkit

Wujudkanlah mimpi anda, kembangkanlah “penglihatan pemikiran” yang selama ini terpendam, berikanlah arti pada hidup yang anda cintai ini. Semuanya berawal dari sebuah impian. Dunia dengan segala isinya diciptakan Tuhan dari “impian-Nya”.
Kisah-kisah keberhasilan para tokoh yang berhasil mengubah dunia, bermula dari mimpi, seperti apa yang dilakukan Galiileo, Thomas Alva Edison, Einstein, dan lain-lain. Bangunan-bangunan besar seperti candi dan piramid juga dimulai dari impian. Bahkan, majalah ini hingga akhirnya sampai ke tangan pembaca, juga diawali dari impian. Bila demikian, tampaknya segala sesuatu sangatlah mungkin untuk diwujudkan. Masalahnya adalah kebanyakan orang telah membuang jauh-jauh mimpi mereka ke tempat sampah, atau merasa bahwa mimpi mereka merupakan hal yang mustahil. Padahal, hampir semua mimpi bisa diwujudkan dengan sedikit kecerdikan, sedikit keberanian serta dukungan emosional.
Sebagai ilustrasi, pertengahan tahun 70-an Bill Gates bermimpi bahwa komputer akan tersedia di setiap rumah pada suatu masa nanti; Akio Morita bermimpi is bisa mendengarkan musik favoritnya sambil main tenis, tanpa harus mengganggu tetangga kiri-kanan; atau Sosrodjoyo yang bermimpi nantinya orang-orang akan memilih teh botol bikinan pabrik daripada repot-repot menyeduhnya di rumah.
Tetapi perlu kiranya dibedakan antara “mendambakan” dan “memimpikan”. Mendambakan bersifat pasif dan menunggu, hanya merupakan selingan iseng tanpa otak, tanpa upaya untuk mewujudkannya. Sedang memimpikan bersifat aktif dan berani mengambil inisiatif. la didukung oleh rencana dan tindakan untuk membuahkan hasil.
Tokoh-tokoh yang disebut di atas adalah contoh perbuatan memimpikan. Mereka tidak sekadar beranganangan, melainkan berupaya keras mewujudkan impiannya. Microsoft, Sony, dan Teh Sosro adalah hasil nyata dari mimpi-mimpi mereka.
Singkatnya, penglihatan pikiran membuka pintu untuk mewujudkan impian kita. Namun begitu pintu tersebut terbuka, harus ada tindakan nyata berupa: disiplin, kebulatan tekad, kesabaran, dan ketekunan bila kita ingin membuat impian tersebut menjadi kenyataan.
Penglihatan Pikiran

Pada hakikatnya setiap insan memiliki dua jenis penglihatan: penglihatan mata dan penglihatan pikiran. Penglihatan mata adalah apa yang kita lihat ada secara fisik di sekeliling kita, misalnya: mobil, gunung, pulpen atau teman-teman kita. Sebaliknya, penglihatan pikiran adalah sebuah kekuatan untuk melihat bukan apa yang ada secara fisik, tetapi apa yang bisa ada setelah intelegensia manusia diterapkan. Penglihatan pikiran adalah kekuatan untuk bermimpi.
Dr. David Schwartch, dalam The Magic of Thinking Success, yakin bahwa perasaan kita yang paling tak ternilai harganya adalah penglihatan pikiran. Penglihatan tersebut membentuk gambaran masa depan yang kita harapkan, rumah yang kita idamkan, hubungan keluarga yang kita dambakan, liburan yang akan kita ambil, atau penghasilan yang akan kita nikmati kelak (sumber : www.purdiechandra.com)

sumber url : http://www.bisnisentrepreneur.blogspot.com/